Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penantian

  

Nai, kekasihku. Sudah bertahun-tahun aku menantimu. Dengan cinta dan kehilangan yang sama. Di bawah pohon ketapang, belakang Sotis yang mewah. Di sunyi pasir dan gemuruh gelombang. Di antara dedaunan kering dan sampah para pengunjung sampah. Aku tidak tahu lagi, kata seperti apa lagi yang harus kurangkai. Rindu seperti apa lagi yang bisa kurajut.

Aku telah menelepon ke nomormu yang baru, lama dan sebelum yang lama. Aku juga telah menelepon kakak dan adikmu yang selalu kau ceritakan itu. Cerita tentang kemiripanmu dengan sang kakak yang bijak, dan si adik yang selalu ingin merasa mirip denganmu. Padahal kan tidak.

Bahkan, pernah kutelepon bapak kumismu yang sering kupanggil Eksavaldor Dali. Dia yang pernah mengingatkanmu untuk menjauh dariku, sebelum aku menghamilimu. Aku tahu waktu itu kau menjelaskannya dengan baik, kalau aku bukan orang yang seperti itu dan kita memang tidak sedang memadu kasih. 

Parahnya, mereka semua mengabaikanku.

“ Di mana kamu, Nai? “

Aku selalu memuliakanmu dalam puisi. Menyanjungmu dalam setiap cerita. Menyanyikan namamu dalam setiap genre lagu. Bahkan , lirik-lirik lagu telah kuubah seenak jidat menyesuaikan dengan namamu. 

Bukan hanya itu, Nai, cerita pendek Seno Gumira Sepotong Senja untuk Pacarku telah kuubah menjadi Sepotong Senja untuk Naiku. Senja itu bukan lagi dicuri untuk diberikan kepada Alina. Kamu tahu, aku mengubahnya seolah aku adalah Sukab yang rela dikejar polisi demi mengantarkan senja itu padamu. Aku telah melecehkan banyak karya dan itu semua karenamu.

Aku sadar bahwa perbuatanku padamu telah melanggar aturan-aturanmu, Nai. Aku mengerti mengapa kau meninggalkanku di Pantai Pasir Panjang sore itu. Memang bagimu aturan-aturan itu sangat mudah dijalankan. Tetapi, kamu mengatur hati, Nai. Aturan jangan jatuh cinta satu sama lain diantara kita berdua, itu berat bagiku. Ini lebih berat dari rindu Dilan kepada kekasihnya, Milea.

Pada mulanya bisa kuterima, Nai. Bahkan di jam pertama kamu menyebutkan aturan itu aku telah bersumpah dalam hati.

 “Aku bersumpah untuk tidak jatuh cinta padamu. Aku bersumpah atas nama langit dan bumi. Atas nama persahabatan.”

Tetapi, apa boleh buat, hati itu liar. Ia tidak akan terikat pada aturan mana pun. Ia begerak sesuai naluri. Ia pun bebas memilih tempat mana ia ingin singgah atau menetap sebagaimana naluri telah menuntunnya. Ketika Ia memilihmu, itu pilihannya. Bukan pilihanku. Lalu, kau menyalahkanku? Ayolahh…

Naiku yang manis. Naiku, yang polos. Jikalau hati ini bisa memilih untuk jatuh ke mana, aku takan memilih jatuh padamu. 

Aku tahu memang senyummu terbuat dari gula. Bahkan ketika bibirmu kering, bekas-bekas putih di bibirmu menjelma gula. 

Aku juga tahu, suaramu semerdu Kenari yang membuat hatiku beberapa kali menari. 

Tapi, tetap. Jikalau jatuh hati padamu berakibat seperti ini, tidak, Nai! Aku tidak akan memilih jatuh hati padamu. 

Aku lebih baik tidak menjalin asmara dengan siapa pun dibandingkan kehilangan orang sepertimu. 

Rusukku telah sepi, Nai.

Akhirnya, hari ini Nai, aku kembali habiskan sore busukku di Pantai ini. Sebagaimana hari-hari sebelumnya semenjak engkau beranjak entah ke mana. 

Senja ingat betul, kala mulutku kaku dan tubuh nan ragu di sore itu, sore di mana semuanya berawal. Awal kepergianmu. Dan awal kematian pertamaku. 

Tetapi cinta memaksaku tenang. Yah, memang keadaan memaksa dapat membuat kita dapat melakukan apa saja. Setidaknya itu yang pernah diingatkan seorang imam kepadaku.

Malam semakin larut, dan aku masih saja di pinggir pantai ini. Menanti senyummu. Matamu yang syahdu. Dan cubitan-cubitan kecilmu saat merasa geli dengan candaanku.

Nai, malam ini suara-suara anjing menggonggong terdengar di sepanjang pantai ini. Entah mengonggong karena melihat setan atau setan-setanan, aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah gonggongan anjing-anjing itu pertanda ia ingin segera bercinta atau bahkan sedang bercinta. Aku tak paham, Nai. 

Aku yakin, Nai. Kalau kamu di sini kita akan mendiskusikannya hingga dinginnya malam memaksa kita minggat.

Aku ingat sekali kala kita bertengkar gegara mendiskusikan bagaimana kucing bercinta. Aku ingat betul bagaimana kamu menjelaskan mengapa kucing saat kawin selalu mengeluarkan suara berisik. Kamu menjelaskannya dengan detail dan tanpa malu-malu. Walau memang, kadang di sela kamu menjelaskan teriakan kucing karena kelamin sang kucing jantan berduri, bibirmu meronta setengah tertawa.  

Lalu, aku yang berpura-pura bego berusaha membantahmu dengan argumentasi tak berdasar. Yah dan itulah yang membuat jari-jarimu mendarat di kulit-kulitku. Mencubit dengan berpura-pura marah. Dan aku, disitulah lobus parietal di struktur otakku tidak dapat maksimal bekerja. Ia tidak bisa mendeteksi dengan benar, apakah cubitan mengakibatkan rasa sakit atau kah rasa apa. Ia sendiri kebingungan, karena ia juga malu-malu sebagaimana setiap sel pada sistem organku yang lain. 

Hehehhe, kalau diingat kembali rasanya lucu-lucu menyakitkan yah?



                                       ***

Aku mendengar kamu akan menikah dengan seorang pria tampan terkaya di kampungmu. Lelaki itu adalah Jeon, seorang rapper ternama dan penuh misteri itu kan? Aku heran bagaimana bisa kamu memilih menghabiskan seluruh waktumu dengan si aneh itu. Dulu kamu sering bercerita tentangnya. Dan anehnya dulu kamu mengagumi karya-karyanya dan bukan pribadinya. 

Mungkin kamu mengira jikalau berita itu meremuk hatiku. Tidak, tidak Nai! Bulu-bulu ditubuhku justru bersorak kegirangan. Aku tidak berhenti meneriakan syukur kepada Tuhan.

"Setelah sekian lama, akhirnya aku dengar juga berita tentangmu. Istriku. Naiku."

Aku tidak peduli berita ini sebagai pertanda kita tidak akan bersama sebagai pasangan. Kabar tentangmu yang masih bernafas saja, itu sudah cukup menyatukan kepingan-kepingan hatiku yang telah hancur. 

Aku akan datang ke pernikahanmu.

                                         ***

"Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

Terima kasih, Nai. Altar Gereja St. Yakobus Wangkung telah menjadi saksi perjalan cinta kita. Dengan sakramen ini, aku harap kita akan kekal dalam cinta. Bahkan setelah maut memisahkan. 

Terima kasih juga, karena telah bersedia wendo denganku tepat sehari sebelum pernikahanmu dengan si Jeon gila itu.

x

Posting Komentar untuk "Penantian"