Peringati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Aktivis PMKRI Cabang Malang Gelar Aksi
Mahasiswi Rentan Jadi Korban Kekerasan, Aktivis PMKRI Gelar Orasi
Dok. Pribadi |
Wanitaku sayang, wanitaku malang. Demikian salah satu poster yang diusung puluhan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Malang. Siang ini (27/11/2017) mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Malang.
Aksi tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Peserta aksi menyerukan orasi-orasi terkait kasus kekerasan pada perempuan yang belum mendapat perhatian semestinya.
"Jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sangat tinggi. Jika mengacu data Komnas HAM, sepanjang 2016 lalu ada 259.150 kasus yang tercatat," ujar koordinator aksi Rosalia Koniaty Bayo. Rosalia mengungkapkan, angka tersebut setiap tahun semakin bertambah.
Hal tersebut menurut mereka sangat memprihatinkan. "Oleh karena itu kami menyerukan stop kekerasan terhadap perempuan. Perempuan sebagai manusia memiliki hak yang setara dengan laki-laki," ujarnya.
Dia mencontohkan, beberapa kasus di Malang yang melibatkan perempuan masih bias gender. Dia mencontohkan kasus yang membelit salah satu mahasiswi yang terpaksa membunuh bayinya di kamar kos karena hasil hubungan di luar nikah.
"Saat itu media gempar sekali memberitakan si mahasiswi, tapi untuk prianya tidak ada. Padahal perempuan itu juga dalam posisi sebagai korban," tuturnya.
Rosalia mengatakan banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan di Kota Malang, khususnya pada mahasiswi. Dia mengungkapkan, PMKRI sempat menemukan dua kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam kampus dan pinggir jalan beberapa waktu lalu.
"Sempat kami temukan langsung, tetapi korban tidak mau lapor karena malu. Sistem patrikaki membuat korban kekerasan perempuan jadi cibiran," sesalnya.
Dok. Pribadi |
Berbagai permasalahan yang hampir selalu terjadi itu pun menurutnya sangat disayangkan. Karena dari berbagai kasus yang ada, pemerintah kurang memberi perhatian khusus. Alhasil, fenomena serupa selalu saja terjadi.
Untuk itu, lanjutnya, aksi yang digelar untuk membela kaum hawa itu pun menuntut sederet pertanggungjawaban dari pemerintah. Di antaranya adalah memberlakukan dengan sebaik-baiknya undang-undang nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi dan penghapusan segala bentuk diskriminatif terhadap perempuan.
Dia pun menuntut agar ada langkah konkrit dari pemerintah dalam memberantas praktik perdagangan manusia dari akarnya. Terakhir, mereka menuntut penyediaan fasilitas dan lapangan pekerjaan yang layak serta pendidikan bagi pekerja seks komersial. "Membuat aturan saja tidak cukup, tetapi harus ada langkah penerapan," pungkasnya. (Malangtimes)