75 Tahun Merdeka: Indonesia Maju Tanpa Kekerasan Seksual

Negara Merdeka, Rakyatnya Tidak Merdeka 

75 Tahun Merdeka: Indonesia Maju Tanpa Kekerasan Seksual
Dok. Pribadi

Dalam pembangunan nasional Indonesia, perlu adanya kesejahteraan, manusia berbangsa dan bernegara. Jika negara tidak mencapai tiga hal itu, maka jauh dari kata merdeka.

Demikian intisari diskusi webinar yang digelar Cipayung Plus bertema: ‘75 Tahun Merdeka: Indonesia Maju Tanpa Kekerasan Seksual, Sabtu (29/08/2020).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, yang diwakili oleh Deputi Bidang Perlindungan Anak, Nahar membuka diskusi dengan pemaparan: 75 tahun merdeka kekerasan fisik, emosional dan seksual masih marak terjadi.

Menurutnya, merujuk survei anak dan remaja, 2 dari 3 anak di Indonesia tidak lepas dari namanya kasus kekerasan, kekerasan secara fisik, emosional dan seksual.

Data Januari hingga 17 Juni 2020 sebanyak 3,928 kasus kekerasan terhadap anak, dan hampir 55 terhadap anak. Kekerasan seksual paling tinggi dibandingkan fisik dan emosional.

Dulunya, akibat maraknya kekerasan seksual di Indonesia, dibentuklah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016, yang dikenal publik kebiri. Setelah Perpu, terbentuklah undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2016.

Dengan adanya UU memberikan warning dimana kekerasan seksual menjadi perhatian dan bagi setiap pelaku harus diberikan pemberatan hukuman, Jelas Nahar.

Pasal yang memberatkan para pelaku kekerasan seksual, ada pun pada UU nomor 35 tahun 2014, sanksi yang diatur pada 4 ayat, yang memberikan sanksi kepada pelaku diganjar hukuman 5 sampai 15 tahun penjara.

“Prinsip kami, bagi pelaku yang pernah melakukan kekerasan seksual, ketika keluar dari hukumannya dan kembali melakukan kekerasan yang sama, harus pemberatan hukum secara tegas tanpa kompromi,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Ketua KOPRI PB PMII, Septi Rahmawati. Menurutnya, ada data yang dirangkum terkait kekerasan seksual yang terbagi tiga. 46.698 kekerasan seksual terhadap perempuan untuk tahun 2011-2019.

Kemudian, 23.021 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas dan kasus pemerkosaan sebanyak 9.039 baik perempuan maupun laki-laki.

Apa yang dialami oleh korban kekerasan seksual, harus juga kita rasakan dengan menjaga, mendampingi, mengarahkannya untuk terus semangat dalam menjalani hidup.

Banyak kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, akan tetapi korban takut dan malu untuk melapor. Jika korban melapor maka akan terjadi pembullyan di lingkungannya, tidak diterima dan menjadi cerita yang tidak baik.

Indonesia Maju Tanpa Kekerasan Seksual
Dok. Pribadi

“Kenyataan yang terjadi masih banyak kekerasan seksual berakhir hanya di kepolisian tidak ke ranah hokum. Dan kebanyakan pula berakhir ke ranah kekeluargaan,” ujarnya.

Kemerdekaan seutuhnya tanpa penindasan. “Sebagai perempuan berintelektual kita harus hadir sebagai pendamping, berani dan bergerak untuk menyuarakan terkait kekerasan seksual,” ucapnya.

Bagi teman-teman, mari perhatikan terlebih dahulu orang-orang di lingkungan kita, berikan pemahaman tentang dampak kekerasan seksual. Jangan lupa juga edukasi ke internalnya komunitas kita, karena data kekerasan seksual terbanyak juga ada dari komunitas.

Hukum Internasional Roma, bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan. Dan ini masalah sangat serius dan global harus diberantas, sambung Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI, Fanda Puspitasari.

Kemerdekaan saja, bukan hanya bebas dari namanya kolonialisme, melainkan kesejahteraan dan perlindungan harus ada dalam kehidupan masyarakat.

Bagi Fanda, negara dibentuk untuk melindungi rakyat, di UU 45 ada 40 hak masyarakat dijamin oleh negara yaitu, hak bebas dari ancaman dan diskriminasi dan itu harus menjadi agenda wajib negara.

Dalam pembangunan nasional, perlu adanya kesejahteraan, manusia berbangsa dan bernegara, jika negara tidak mencapai 3 hal ini, maka jauh dari kata merdeka.

Dalam menyelesaikan kekerasan seksual, perlu adanya sinergitas dari beberapa stakeholder. Baik pemerintah, pergerakan mahasiswa dan masyarakat.

Ketua PMKRI, Rosalia Koniaty Bayo, menyebutkan agama mampu mendengar korban kekerasan terhadap perempuan, dan dari Cipayung Plus ini akan menjadi komitmen kita bersama dalam mengawal kekerasan seksual. “Kita punya otoritas dari diri kita sendiri, jangan memilih untuk bungkam,” tuturnya.

Untuk saat ini, perempuan belum merdeka dari segi seksual dan budaya patriarki. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ditarik oleh Komisi 8 DPR RI, dianggap tidak penting. “Menandakan negara tidak serius dalam mensejahterakan masyarakatnya,” katanya.

Bicara negara maju, bisa dikaitkan dengan kesejahteraan. Isi UUD tahun 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, kerena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan keadilan. “Akan tetapi kita merasakan kemerdekaan yang tidak nyata,” ungkap Ketua Umum Kohati PB HMI, Siti Fatimah Siagian.

Sekarang ini kita lagi melawan bangsa sendiri, bicara Pancasila, apalagi Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana setiap agama tidak mengajarkan namanya kekerasan.

Apa yang menyebabkan kekerasan seksual meraja lelah ? Sesuai dengan data yang ada, dapat dilihat dari perempuan dianggap lemah, budaya patriarki dan pendidikan moral kurang.

“Saya melihat perjuangan sudah maksimal dalam menyuarakan terkait masalah kekerasan seksual, namun hasilnya yang masih kurang maksimal, apalagi bicara aturan, perlu adanya penguatan aturan yang jelas,” ujarnya.

Masih banyak penyelewengan budaya dan makna yang mempengaruhi kekerasan. Adapun dengan pengetahuan memuluskan niat jahatnya. “Jangan jadikan perempuan menjadi budak laki-laki,” tegasnya.

Negera kita merdeka, tetapi rakyatnya tidak merdeka. Banyak manusia tidak berahlak tapi saling menguatkan.

Wakil Ketua Umum IV Perempuan EN LMND, Neny Setyawati Kotae dalam tanggapannya mengatakan kemerdekaan adalah hak segala bangsa, benar sekali adanya. Sedangkan kemerdekaan secara mutlak di Indonesia jauh dari fakta.

Ada tiga faktor kekerasan seksual terjadi yaitu budaya patriarki, ekonomi dan pendidikan. “Saya mengharapkan adanya kurikulum pendidikan sejak dini terkait seks edukasi. Dalam kurikulum kita masih dianggap tabuh, padahal ini sangat penting ketika diajarkan kepada anak-anak,” imbuhnya.

Edukasi seks sejak dini, itu sangat penting, dimana anak-anak mengetahui dan tidak melakukan hal yang belum bisa mereka lakukan. Atau menghargai tubuhnya sendiri. Sebagai perempuan yang tersasarkan, kiranya kita menjalankan tanggungjawab dan diharuskan menjadi kewajiban untuk menyadarkan masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama.

“Indonesia belum merdeka secara manusiawi. Jadi akar dari permasalahan adalah kekuasaan. Siapa yang memiliki kekuasaan merasa semua hal bisa dilakukan kepada yang terlihat lemah dan dapat di taklukan. Dan dibeberapa daerah budayanya masih menganggap wanita lebih lemah dari laki-laki,” ujar Ketua Bidang Litbang PB HIKMAHBUDHI, Jesslyn Metta. Webinar Cipayung Plus diikuti 170 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, dan dipandu langsung Wakil Ketua II EN LMND, Septian Paath selaku moderator.


Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini