Bidan Perhimpunan: Catatan Tentang Bang Yos Rahawadan
Bidan Perhimpunan..
Jakarta agak macet sore itu. Tetek-bengek pekerjaan di akhir pekan dengan laporan yang menumpuk membuat semua keruwetan itu seolah lengkap. Saya akhirnya telat tiba di Margasiswa I, rumah juang rekan-rekan PMKRI Cabang Jakarta Pusat. Di hari itu, bersama keluarga besar PMKRI, saya turut diundang menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya Bang Yos Rahawadan.
Saya tiba ketika perayaan misa sudah memasuki liturgi persembahan. Lagu persembahan yang dinyanyikan sore itu mengiringi langkah kaki memasuki ruangan. Agak miris juga, lagu persembahan yang begitu baik dinyanyikan oleh koor adik² PMKRI Jakarta Pusat, justru seolah menjadi lagu pembukaan buat saya yang datang dengan segala keruwetan Jakarta, pekerjaan & lainnya.
Jujur, bukan hanya koor yang bagus yang membuat saya iri dengan mereka. Bukan juga soal undangan yang memenuhi dalam dan luar ruangan. Juga bukan soal antusiasme semua orang memperingati kepergian senior besarnya, dengan testimoni dari angkatan ke angkatan, lintas gerakan, maupun keluarga yang bercerita tentang abang Yos semasa hidupnya. Bukan soal itu.
Entah mengapa, saya iri karena Jakarta Pusat punya senior besar yang membaktikan diri & hidupnya murni untuk mem-bidani adik²nya.
Betapa bang Yos adalah senior yang benar² hadir di Marga membaktikan sebagian besar waktunya untuk melahirkan kader² Katolik sejati, tanpa harus memaksa kader² Jakarta Pusat untuk menjadi persis seperti ‘apa maunya’.
Betapa bang Yos, seperti cerita pada malam itu, benar² tulus mendampingi adik²nya: mendengarkan cerita² mereka, sekaligus memberikan wejangan, bagaimana sebaiknya berproses selama di Perhimpunan.
Ya. Bang Yos ibarat seorang bidan dengan PMKRI sebagai sang ibu, rahim Perhimpunan. Bang Yos turut merawat adik²nya sejak dalam kandungan; mulai dari MPAB, MABIM, hingga tumbuh dan berproses dalam dinamika organisasi. Sempat, saat bertetangga di Sam Ratulangie sebagai Pengurus Pusat di 2020-2022, saya menyaksikan sendiri bagaimana Bang Yos begitu setia mendukung dan mengawal kegiatan adik²nya di Menteng.
Seorang kakak pernah bertutur, sebagai seorang senior, metode yang dilakukan Bang Yos dalam mendampingi adik²nya mirip Metode Kebidanan ala Sokrates. Metode dialektika, kalau istilah kerennya. Bang Yos turut menjaga dan merawat, dari lahir hingga tumbuh kembang adik²nya, tanpa harus memaksakan segala ide dan cita-cita pribadinya kepada mereka.
Baca: Titik Nol Nusantara
Tentu, itulah mengapa adik²nya merasa sangat kehilangan Bang Yos. Bagi saya, Bang Yos bukanlah tipe senior yang datang ke Marga hanya untuk memberikan wejangan politik atau apa yang harus dilakukan tentang situasi politik, atau harus memilih A atau B.
Tidak. Beliau adalah senior yang akan mendengar dengan seksama, kalian pilih A kenapa, pilih B kenapa - kalian bertindak begini kenapa, kalian bertindak begitu kenapa. Lalu, dia akan membagikan satu-dua pengalaman pribadi berdasarkan buku² yang dibaca atau yang dilihat di luar sana dengan pengalaman hidupnya, bahwa ini lho yang baik, seraya menegaskan bahwa kamu harus berpegang pada pendirianmu.
Prinsip Bang Yos sempat disinggung dalam tulisan kak Rinto Namang kemarin di Verbivora, bahwa Bang Yos tidak pernah berniat menjadikan Margasiswa sebagai tempat kaderisasi politik semata. Ia hanya ingin adik²nya bertumbuh, berproses, disiapkan menjadi pemimpin yang tak hanya saja di bidang politik, tapi juga kesehatan, ekonomi, lingkungan dll.
Dalam banyak hal, Jakarta Pusat tentu sangat terberkati telah berkesempatan memiliki seorang Bang Yos. Selintas, ada perasaan iri yang mengganggu, ketika saya harus menoleh ke belakang, ke Marga Juang Panjaitan 22A yang sepertinya butuh figur² “Bang Yos" yang lain.
✊💫