Si Cantik di Ruang Dosen Pembimbing

 

Sumber image: Suar.id - Grid.id

Itok Aman | Teman Ceritamu


Mahasiswi cantik itu pagi-pagi sekali menuju ke kampus. Ini kali ke sekian ia menghadap dosen pembimbing untuk tetek bengek tulisan akhirnya yang penuh revisian itu.

Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, sang dosen begitu sibuk, hingga tak begitu intens membahas tulisan akhir si Mahasiswi. Sebut saja namanya Anita.

Hari ini, Pak Dosen tidak begitu sibuk. Ia sedang menanti kedatangan Anita di ruangannya dengan penuh antusias. Ruangan ber-AC yang menyejukkan.

Anita menerobos koridor dan lorong-lorong kampus, beberapa kali menuju toilet untuk menyemprot pewangi ke jas kampus yang menutupi kaos putih tipis sebagai dalamannya. Setiap kali ia melintasi kerumunan mahasiswa yang lain, semua mata tertuju pada lenggok langkahnya.

Ia sedikit gugup, sebentar lagi jadwal ujian. Semoga ini hari terakhir revisian tulisan akhirnya. Ia mengucap sepatah kata doa dalam hatinya sesaat berdiri di pintu ruangan Pak Dosen.

"Tok tok tok..."

"Silakan masuk!" suara serak yang datar dari seorang pria terdengar dari dalam ruangan.

Seketika Anita dengan pelan membuka pintu, Pak Dosen yang tengah tertunduk fokus membaca majalah kampus langsung menatap ke arah Anita. Mahasiswi yang terkenal cantik dan polos di kampus itu dengan kaca mata bening yang selalu ia kenakan seakan serasi dengan lesung pipinya.

Dua kali Anita mengucap selamat pagi namun Pak Dosen tak merespon. Entah ke mana fokus pikirannya. Ia langsung menyuruh Anita duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi putar miliknya. Dosen itu pelan-pelan berdiri, menutup membentang kain jendela menutupi kaca. Kemudian duduk sambil pelongo menatap paras Anita yang memerah lantaran gugup.

Tanpa basa-basi, Anita langsung membuka setumpuk kertas tulisan akhir yang ia rampungkan dalam satu jilid. Anita berusaha fokus pada tujuannya. Mereka mulai membahas satu per satu, bagian per bagian yang perlu diperbaiki.

Sekian menit telah berlalu. Pak Dosen berdiri pelan sambil tak melepas tatapannya dari Anita, ia melangkah di sudut kiri meja, mendekati Anita sambil menyebut satu suku kata nama gadis itu.

Ia mengunci pintu terlebih dahulu. Kemudian berdiri di belakang kursi yang diduduki Anita. Membelai rambut gadis itu, pelan. Anita kian gugup dengan situasi ini, bahkan Pak Dosen merasakan getaran itu, detak jantung dan nadi Anita terasa sampai ke bahunya. Tangan Pak Dosen merasakan itu.

Lelaki berperawak tinggi yang mengenakan batik lengan panjang itu mendekatkan bibirnya ke leher Anita. Perlahan mengangkat dagunya menuju telinga kiri yang berhias dua anting emas lima gram milik Anita.

"Ani... Jika suatu hari kau sudah lulus dari kampus ini, bolehkah saya beri satu permintaan?"

Gadis itu bukan merenung, ia hanya gugup dan ketakutan namun tak berdaya lantas kedua selaput tangan Pak Dosen terus bertopang di kedua bahu gadis itu. Ia merasakan sentuhan halus dari tangan yang keras sampai ke jantungnya. Telapak kaki Anita mulai berkeringat. Ia tak kuasa sekarang, bahkan tak berani menerka-nerka apa permintaan dari Pak Dosen yang dikenal garang dalam ruang kuliah namun tak suka dipanggil Bapak di luar jam kampus.

"Apa itu, Pak? Semoga saya bisa penuhi permintaan Bapak. Tapi kali ini saya lulus kan, Pak?"

"Ya, kamu bisa lulus kali ini. Tapi saya punya satu permintaan."

"Apa itu, Pak?"

Sekali lagi, Pak Dosen meremas lembut bahu Anita. Kini tangannya bergerak menuju lengan gadis itu. Kali ini sedikit bertenaga, ia seakan mengangkat tubuh gadis itu agar berhadap-hadapan dengannya. Anita bergeser dari tempat duduknya dan berdiri di hadapan Pak Dosen. Kini mata keduanya bertatap-tatapan sejarak lima centi. Daya tahan tubuh gadis yang jarang sarapan pagi itu kian melemah. Namun ia terus menatap Pak Dosen sekuat yang ia bisa.

"Saya punya satu permintaan, Ani."

Ani hanya busa berdengung lemah, seakan bertanya sekali lagi dengan sedikit pasrah. Apa permintaan Pak Dosen.

"Jika kamu lulus dari kampus ini, jadilah alumni yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan agamamu. Mengabdilah setulus hati di mana pun kau bekerja. Itu saja permintaan Bapak ke kamu, Nak. Salam hangat buat keluarga di rumah, berterima kasihlah pada orang tua, mereka mampu membimbingmu sampai sejauh ini."

Jantung Ani hampir copot. Spontan saja ia bernapas panjang tak peduli napasnya mengembun papan nama Pak Dosen. Anita hanya sekali ini memeluknya dan berterima kasih, kemudian membereskan berkasnya lalu pamit pulang. Ia lega dan berlari melintasi koridor. Seperti seorang anak kelas lima SD yang mendapat ranking satu kelas. Di halaman parkiran ia menelepon satu per satu orang terdekatnya sambil meloncat-loncat. Anita girang bukan main.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *