SEKS BEBAS & CINTA YANG SALAH ARAH

Gambar comot di Om Google

Itok Aman | Teman Ceritamu


Tidak terlalu penting kau mengenal saya sebagai apa sekarang. Siapa saya. Saya selalu seperti biasa, biarkan orang merepresentasikan sebagai apa dan siapa saya tergantung bagaimana mereka mengenal saya. Tergantung bagaimana saya bersikap laku di hadapan mereka. Termasuk di hadapanmu. Toh kita sudah berkawan, bukan? Ah, tos dulu! 

Cerita yang saya tulis ini, sebetulnya bukan tentang siapa saya. Tetapi hanya ingin membagikan pengalaman padamu yang membaca setiap tulisan-tulisan tidak penting dari saya di beranda yang satu ini. 

Tentang pekerjaan saya menjadi seorang driver ojek online setelah restaurant tempat saya bekerja sebagai bartender pada salah satu restaurant kelas menengah ke atas di daerah Teras Kota, Banten, sebelumnya ditutup. 

Beruntungnya, saya sudah mengantisipasi sejak awal melihat pengunjung kian hari makin berkurang ke restaurant itu. Lalu, saya diam-diam mendaftarkan diri sebagai driver ojol sebelum restaurant ditutup. Benar saja terjadi. 

Selain ngojek pun, saya masih sering bolak-balik ke tempat open mic di setiap komunitas Stand Up Indo di daerah Jabodetabek. Sebab, konon mimpi saya adalah salah satunya menjadi komedian. 

Sudahlah, lupakan saja soal komedi itu. Biarkan saya fokus menceritakan tentang salah satu pengalaman menarik saya menjadi driver ojol

Belum seminggu jadi gojek driver, saya berkenalan dengan banyak orang. Dari yang ganteng, cantik, seksi, tua, muda, bau keringat, bau parfum, dan lain-lain. Di balik itu, pasti ada banyak hal yang menarik.

Salah satunya ketika saya mengantar seorang gadis remaja yang pulang dari tempat kerjanya sekitar jam 4 pagi lewat sedikit. Cantik dan masih seusia saya. Ramah, sudah pasti. Saya selalu menaruh hormat pada ramah, cerdas dan sosialis.

Dia bekerja di salah satu kelab malam di batas antar kota Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tapi rumahnya di Bekasi, di salah satu kompleks perumahan dekat SMA N 81 Bekasi.

Dalam perjalanan dia mengaku sangat lelah dan kantuk. Dia meminta izin dengan ramah melingkar lengannya di pinggang saya dan menyandar dagunya di bahu jalan. Eh, bahu saya maksudnya.

Saya canggung? pasti. Kenapa? Sebab dia cantik, wangi minta ampun, lembut aduhai. Ah, Tuhan.... Sioo eh!

"Mba, kerja di kelab atau hanya pergi cari hiburan di sana?"

"Iya, Bang. Kerja di sana."

"Sebagai apa, Mba?"

"Pasti Abang ngira gua LC ya? Saya dokter di sana, Bang."

"Lah! Kok dokter kerja di kelab, Mba? Bagaimana ceritanya?"

"Iya, Bang. Tugas saya di sana untuk ngatasi customer yang terkena HIV-AIDS, sifilis, dan juga penyakit menular lainnya." 

"Wah, keren dong Mba. Itu kelab gede berarti ya sampai mereka sediakan dokter khusus."

"Ya, gitu deh Bang."

Saya makin penasaran. Lalu mengumpan sedikit pertanyaan tentang seks bebas. Sengaja mengecilkan suara agar dagunya makin dekat melewati daun telinga arah ke pipi saya. Makin dekat makin gugup mengontrol gas.

Berusaha stabil namun apa daya, saya adalah satu di antara sedikit lelaki yang terbata-bata saat berhadapan dengan perempuan cantik, kaku dan mati gaya nyaris diam seribu bahasa.

"Mba, zzzz zzzz zzz zzz mmm ehmm ehmmm ya Mba...?"

"Apa, Bang? Maaf, kurang dengar."

Dia makin merapat, pelukannya makin erat, bibirnya makin ke depan. Gerai rambutnya yang tertiup angin terdengar jelas di telinga saya walau ditutup helm.

Napas lembutnya meniup beberapa helai kumis saya bagian kanan. Kota Jakarta pagi yang belum berfajar kali ini laksana tungku di dapur yang telah Ibu nyalakan api.

"Tadi saya nanya, apakah kalau seseorang yang sudah didiagnosis mengidap HIV itu, apa masih ada peluang untuk sembuh lagi ya Mba...?"

"Iya, Bang. Masih. Intinya perawatan rutin. Kecuali kalaus udah sampai ke AIDS, itu belum ada obatnya. Berharap mujizat aja."

"Terus, kalau berhubungan seksual dengan pasangan yang mengidap HIV, terus kita pakai pengaman, apakah itu bisa dijamin tidak akan ada penularan?"

"Tergantung, Bang. Kalau pengamannya tidak lecet atau bocor, aman-aman aja. Tapi menurut saya perlu berwaspada aja sih."

"Terus, kalau misalnya berciuman dengan pengidap HIV itu apakah menular, Mba?"

"Tergantung juga sih, Bang. Karena penyakit menular itu pada umumnya menular melalui pori-pori tubuh, demikian juga HIV-AIDS. Kalau kita berciuman dengan pengidap HIV, aman-aman saja kalau bibir dan rongga mulut kita tidak sedang luka seperti sariawan, bibir pecah-pecah, dan gusi yang berdarah, seperti pada hubungan seks, penyakit tersebut menular melalui pori-pori kulit."

"Terus, kalau misalnya kita tukaran handuk, sabun, piring makan, sendok makan, gelas minum, dan pakaian dengan mereka, itu bagaimana, Mba?"

"Yah, tergantung juga, Bang. Apakah kulit tubuh kita sedang tidak luka-luka? Kembali ke proses penularannya yang paling sensitif itu adalah pori-pori tubuh, Bang."

"Kita lewat fly over saja ya, Mba." Saya mengalihkan pembicaraan.

"Tapi kalau boleh beri saran nih, bukannya saya menggurui, ya Bang ya. Appabila kita akan berhubungan seksual entah dengan pengidap HIV atau bukan, demi menjaga kesehatan sendiri itu penting sekali menggunakan pengaman. Agar kemungkinan-kemungkinan terburuk tidak terjadi.”

“Makasih, Mba, sangat bermanfaat sekali.”

“Sama-sama, Bang."

"Mba, boleh mundur dikit, saya dapat tempat duduknya sedikit saja. Heheh."

"Aduh, maaf ya Bang. Aku terlalu ke depan ya? Belok kanan, Bang. 10 meter lagi kita udah nyampe. Ntar sekalian pas depan rumah, aku minta nomor Abang ya."

"Boleh, Mba. Dengan berat hati saya tidak menolaknya. Hehehe.."

"Eh, siapa nama Abang?"

"Itok, Mba. Tapi teman-teman biasa panggil saya Bob. Kalau Mba, namanya siapa?"

"Oh, nama saya Roger, Bang."

"Lah, kan itu nama laki-laki biasanya."

"Iya, Bang. Saya laki-laki juga, pengen jelas dari tadi, tapi Abang kek nyaman gitu manggil aku 'mba'. Jadi aku biarin aja. Heheh. Minta nomornya Bang Itok, boleh?"

Kau tidak perlu tahu bagaimana reaksi selanjutnya. Kau bisa membayangkan bagaimana jika kau berada di posisi saya. Apapun yang kau lakukan, saya bisa melakukan itu pada penumpang yang satu ini. 

Sialan!

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *