Ayla, Ibu Mencintaimu || Cerita Malam #01

 

Sumber google

Itok Aman | Teman Ceritamu


Terlalu bodoh jika aku bilang diriku terjebak dalam perasaanku sendiri. Kau tahu, aku penyayang. Sekali disakiti kecewaku memuncak, jangankan piring dan gelas, hati orang pun bisa kupecahkan. Bagimu itu membabi buta, tapi mana yang lebih sadis sikap yang kuambil atau tingkahnya yang membuatku menjadi ganas? Ah, ini begitu bodoh, kan?

Mungkin benar, beberapa orang pernah bilang, kau memiliki pacar pertama tapi belum tentu dia cinta pertamamu. Aku pun begitu. Sebelum mengenal Bob, aku mempunyai tiga orang pacar. Tapi Bob cinta pertamaku.

Aku tidak tahu bagaimana orang-orang mengartikan cinta pertama, bagiku Bob, karena dia adalah laki-laki pertama yang menyentuh payudaraku, menjilat leherku dengan lidahnya yang sesekali keram saat kuisap dalam-dalam.

Dia laki-laki yang mula-mula baik. Yang selalu memberikan perhatiannya padaku, bahkan bukan hanya karena aku sedang butuh, tapi dia selalu hadir yang membuatku tak membutuhkan siapa-siapa lagi dalam hidup ini. Selain orang tuaku, Bob adalah orang terakhir yang kupikir akan selalu bersamaku hingga maut yang memisahkan.

Sampai suatu hari, aku tak sungkan lagi membuka bajunya. Lelaki yang selalu mengenakan kemeja bermotif pantai itu dengan dadanya yang berbulu, membuat selaput tanganku terus meraba dadanya. Aku terjebak, gairahku memuncak, membuka kancing celananya dan mengeluarkan benda tumpulnya. Aku merabahnya, meremasnya sama seperti ia sedang meramas payudaraku. Dari situ aku tahu, selain lidah, penis lelaki juga ternyata tak bertulang.

Tubuhku melemah, Bob melihat raut pipiku memerah. Aku tak sungkan mengisap palu tumpul itu. Ia pun memasukkan jari tangannya ke vaginaku. Aku berhasil memancing gairahnya. Ternyata ia pun dari dulu ingin melakukan hal sial yang indah ini bersamaku, hanya mungkin waktunya saja yang belum tepat.

Kau tahu, jika cinta meyakinkanmu begitu jauh, memberi tubuhmu ditiduri bukan perkara besar. Sebab kau tak akan mempertimbangkan risiko buruk sesudahnya, kau hanya menikmati saat kau melakukannya saja.

Kami berpindah tempat, tidak lagi bercengkerama di taman kota yang gelap. Bob membawaku ke sebuah kosan di kompleks perumahan yang penuh gang-gang sempit. Gelap, jauh dari keramaian. Kau bebas berdesah tanpa memikirkan ada yang menguping bahkan mengintipmu di sana. Saat suara desahanku makin mengeras, dia menghidupkan speaker aktif di kosan temannya. Selalu begitu, begitu terus dengan lampu yang sengaja dimatikan.

Kadang, aku yang memintanya untuk melakukannya lagi. Jika aku sedang membutuhkan seks, Bob selalu ada. Hingga sebuah petaka datang mematahkan mimpi-mimpiku tentang masa depan bersamanya.

Ia mulai kasar denganku, sering tak peduli, sering tak perhatian. Ia sangat berubah setelah kami sering bersetubuh. Bahkan ke manapun aku pergi bersama teman ataupun keluarga, aku wajib meminta izin dan memberitahunya. Jika ia melarang, dan aku membantah, kelar hidupku. Ia mulai sering mengatur waktuku.

Tangannya bukan lagi hanya merabah payudaraku dengan lembut, jarinya tidak hanya menjadi tamu istimewa setelah palu di celana dalamnya di selangkanganku, tapi makin ke sini, ia malah semakin sering menampar dan meninju wajahku.

Aku sering mengurung diri di kamar, sampai tiba suatu senja ia datang menjemputku di lorong dekat rumah. Hingga larut malam di tempat biasa tubuh kami menyatu. Aku tak melihat air lendir yang lengket itu menetes di pusaranku. Ia terlambat mencabut penisnya dari sana, hanya dengannya saja aku begitu. Sehingga aku pikir, aku tak butuh minum pil KB atau alat kontrasepsi, dia pun begitu.

Makin ke sini, perutku membesar. Makin ke sini, dia tak lagi mengabariku. Makin ke sini, ia selalu mematikan telepon saat aku menghubunginya. Aku kembali pada aktivitasku kala diamuk kecewa; mengurung diri sambil menangis di kamar. Sesekali menatap langit kamar, sesekali menunduk, sesekali menatap ke arah kaca jendela sedang mataku terus berkaca-kaca.

Bahkan aku berniat menggugurkan kandunganku. Aku malu pada tetangga, aku menyesal karena keluargaku sedih dan kecewa besar padaku. Bahkan lantas kejadian ini, aku hampir putus kuliah, beruntung ibuku pengertian dan tak putus asa. Ia menyuruhku mengambil cuti agar aku bisa sedikit fokus mengurus seorang bayi mungil dalam kandunganku. Hingga akhirnya aku wisuda dan seorang gadis cantik menjadi teman dan malaikat kecil dalam hidupku. Makin ke sini, aku melupakan Bob dan fokus mengurus Ayla. Ya, putriku kecilku. Aku menamainya Ayla, yang aku artikan sendiri; Ay laf yu anakku.

Sehabis kuliah, aku kebingungan mencari pekerjaan. Nyaris tak ada satupun perusahaan yang menerima seorang perempuan janda walaupun sarjana. Padahal aku sudah berubah, niatku bekerja hanya untuk menghidupkan anakku tersayang.

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang ASN berusia 40-an tahun yang juga pengusaha tersohor di daerah sini. Ia meminta nomorku dengan ramah. Aku tak sungkan memberinya, siapa tahu, ia memberiku pekerjaan juga. Kami sering berkomunikasi via telepon, WhatsApp dan aplikasi-aplikasi pesan. Suatu hari, aku diajaknya jalan-jalan, dan ia membelikan sebuah boneka besar yang cantik untuk Ayla. Ayla senang sekali dengan boneka itu.

Makin ke sini, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang, berambut keriting dipangkas plontos dengan kaca mata anti radiasi itu sering mengajakku bertemu di sebuah kedai saat ia tak sibuk bekerja. Ia jujur padaku, sudah beristri dan beranak dua. Yang sulung duduk di bangku SMP dan yang bungsu baru saja masuk sekolah dasar setelah lulus dari TK milik susteran Katolik.

Aku yakin kau pun akan sepertiku, jika sering bersama dan membangun relasi yang romantis dengan seorang lawan jenis yang bukan pasanganmu, perlahan kau akan nyaman dan tanpa kau sadari cinta akan tumbuh berbunga di hati dan isi kepalamu. Aku dan pengusaha itu pun begitu. Ia makin sering mencuri waktu menghubungiku di belakang istrinya.

Bagaimana bisa kau tidak nyaman sedangkan kosmetik, iPhone keluaran terbaru, pakaian dan mainan anakmu dibelinya tanpa kalkulasi soal harga. Ia tak pernah kehabisan uang. Bahkan perhatian pun ia beri lebih banyak dari jumlah uang yang ia beri.

Makin sering bersamanya, aku makin lupa mengingatkan Bob, aku pun lupa mencari pekerjaan untukku, setidaknya kebutuhanku terpenuhi, Ayla pun demikian. Jajanan makin stabil untuknya.

Di tengah PSBB ini, banyak orang yang bekerja dari rumah. Demikian pun ASN yang satu ini, mengisi waktu senggang itu, selain ke toko, ia juga mengajakku ke hotel. Menikmati wine dan bir bintang dengan whisky yang tak pernah kusentuh selama dengan Bob. ASN itu memperlakukan istimewa. Ia selalu tahu bahwa aku sedang resah, dan pundaknya adalah tempat yang baik untuk membuang segala sesal itu.

Sekian teguk whisky, aku melihat Bob di depan wajahku sedang tersenyum dan menatapku dengan manja, aku melihat bulu dadanya lagi. Bibirnya makin dekat ke arahku. Aku menamparnya sekuat tenaga, membantingkan tubuhnya di atas tempat tidur yang empuk itu. Sekali lagi, aku terjebak. Kali ini, aku puas sekali tidur dengan lelaki ini. Sampai aku kelelahan dan tertidur.

Aku terbangun dan melihat ASN itu berbaring hanya bertutup selimut sambil menggenggam secangkir wine di tangannya. Ia mengelus rambutku lembut. Aku baru sadar, aku mabuk.

Untuk menyesal, apakah hidup selalu dengan penyesalan? Aku sudah telanjur jatuh ke dunia ini. Aku terjebak di sana. Mau bagaimana lagi, aku hanya menikmatinya saja. Asal anakku tetap makan, kebutuhan perhiasan, pakaian, dan kebutuhan biologisku terpenuhi.

Entah dari mana asalnya, bagaimana ceritanya, makin ke sini, makin banyak lelaki mapan yang telah berkeluarga menghubungiku lewat telepon. Dari mana mereka mendapatkan nomorku, aku tak peduli. Peduliku bahwa aku tak kesepian. Banyak teman, bisa makan, dan membahagiakan Ayla. Walau dalam lubuk hati yang paling dalam, aku berharap anakku yang cantik dan polos ini tidak terjebak sepertiku suatu saat nanti.

Anakku bertumbuh kian ceria. Aku sering melamun saat melihatnya berlarian di depanku. Ia tak tahu duniaku dan dunianya sangat jauh berbeda.

"Ayla, Ibu mencintaimu!"


#bersambung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *