SESEORANG DALAM LUKISAN

Sumber: Amazon.com

Itok Aman | Teman Ceritamu


Ada yang salah. Masih dengan bungkam, lelaki itu duduk menopang dagu di salah satu sisi meja kayu. Menghadap ke dapur tempat temannya sang pemilik warung kopi tengah sibuk menerjemahkan pesanan pelanggan ke dalam bergelas-gelas cairan hitam kecoklatan. 

Nanar tatapnya lekat pada buku sketsa yang terbuka di atas meja. Keningnya berkerut-kerut sebab perasaan was-was yang membuntutinya selama ini akhirnya mewujud.

Sesuatu bercokol di salah satu lembar buku itu dan mengusik nalarnya. Baginya, buku itu tak ubahnya harta berharga. Betapa tidak, buku yang berisi coretan hasil merekam petualangan hidupnya itu ia dapatkan selepas hembus napas terakhir ibunya tujuh tahun yang lalu. Sudah selama itu hingga kertasnya mulai menguning. Tinta pada beberapa halaman awal pun sudah memudar. Sampul kulitnya kian menggelap dan mengilap diusapi terik matahari ibu kota.

“Ngeliatin apa sih lu? Serius amat.” tegur Salim si pemilik warung kopi seraya melempar kekeh. Tangannya digelayuti gelas-gelas kosong sisa minuman. Warung kopi miliknya menyediakan buku-buku bacaan untuk dikenyam pengunjung sembari menyeruput minuman hangat.

Bukan pertama kali ia mendapati seseorang mematung dibius buku seperti lelaki itu. Tak jarang juga meja kayu persegi panjang yang hanya ada dua buah lantaran ruangan yang tak terlalu luas menjadi riuh dikerubuti perbincangan. Mulai dari gosip perselingkuhan supir angkot dengan penjual pakan burung sampai diskusi santai sarat ilmu.

Mulai dari debat soal pilihan politik sampai ceramah keagamaan. Sebagai poros dari bermacam cuap yang beredar, Salim tahu banyak. Jauh lebih banyak dari yang dapat secara wajar diketahui siapapun di wilayah sekitar tempatnya berdagang. Ia bahkan tahu secara rinci latar belakang setiap pengunjung warung kopi miliknya. Termasuk lelaki yang ditegurnya tadi. Pelukis yang sejak lama akrab dengannya karena kesamaan hobi: nongkrong.

Sambil menguap, pelukis itu melirik arloji di tangan kirinya dan menghela napas. Sekarang pukul satu dini hari. Tiga jam sudah dihabiskannya menyendiri di sudut ruangan lantaran suasana hati tak menentu. Kontras dengan riuh rendah yang bersahut-sahutan di sekitarnya. Ia menggigil sedikit tatkala angin malam menyusup dari jendela warung kopi yang hanya dipasangi ram kawat.

“Bingung gue juga,” lelaki itu menimpali pertanyaan Salim sekadarnya seraya mengangkat bahu. Tak tertarik bercerita perihal apa gerangan hingga ketenangannya terusik.

“Halu kali lu, Jek. Kurang-kurangin nyinte makanya.” Ia mendengus mendengar Salim tertawa setelah mengutip kebiasaannya rekreasi menggunakan substansi psychedelic yang sudah sejak lama ia tinggalkan.

“Kampret lu ya! Masih waras gue,” Ia melirik beberapa detik pada buku tadi lalu memasukannya ke dalam tas. “Gue cabut dulu, Lim. Ngantuk.” Tangannya melambai sambil kakinya melangkah ke luar warung kopi. Yang ada di pikirannya sekarang hanya segera pulang dan tenggelam di telaga imaji. Sejenak mengalihkan suasana hatinya yang ruwet malam itu.

“Tiati, Jek! besok malem temenin gue main catur, ya!” Salim berseru lantaran orang yang diajaknya bicara sudah beranjak menjauh. Ada rasa tak enak hati yang sekelibat lewat lantaran kelakarnya tadi. Tapi ia tahu betul watak pelukis bernama Jaka itu. Dan karenanya ia membiarkannya berlalu.

Ruangan lima kali enam meter itu ramai dipadati bermacam barang keseharian. Perabotan ditumpuk pada rak gantung di pojokan kamar dekat jendela belakang. Kasur busa super tipis yang tergeletak di lantai sepertinya mulai menemukan hubungan kekerabatan dengan karpet bulu yang mengalasi saking tipisnya. Kuas-kuas lukis direndam dalam ember di depan pintu menuju kamar mandi. Kanvas-kanvas beragam ukuran yang kosong maupun yang sudah digunakan bersandar sekenanya di dinding.

Sebuah kanvas lain masih bertengger pada easel dengan selembar kain putih tersampir menutupinya. lukisan yang sudah menahun berlalu namun tak kunjung rampung. Terlihat dari kain putih penutup yang melusuh bermandikan debu yang menumpuk tebal. Jaka mungkin kelupaan atau memang sengaja melupakannya. Entahlah. Yang jelas, lukisan itu ia letakkan di sudut ruangan dan jarang sekali ia dekati.

Di ruangan itu, diterangi bias temaram kekuningan, Jaka terpekur. Niat untuk tidur kandas sudah lantaran pikirannya tak henti berputar. Buku sketsa tergeletak dihadapannya. Buku itu pasrah ditelanjangi empunya yang sibuk membolak-balik halaman sambil memindai arsip memori. 

Buku itu satu-satunya relik yang ia miliki untuk mengenang perempuan yang mengantarkannya ke dalam wujud. Seberarti itu hingga tak sembarang coretan ia biarkan hinggap pada tiap lembar. Tentu ia hafal betul apa saja yang terekam di dalamnya. Ia juga tak pernah lupa membubuhkan tanggal kapan dibuatnya tiap coretan di buku itu.

Akan tetapi tidak dengan halaman yang satu ini. Ada perasaan resah yang aneh ketika ia melihatnya. Perasaan yang muncul ketika mendapati suatu hal yang bahkan tak sesiratpun pernah terlintas dalam pikiran.

Namun demikian, kendatipun keberadaannya terlampau meresahkan bagi Jaka, keasingan yang coba ia akrabi sedari tadi itu sejatinya sederhana saja. Tak lebih dari sekadar gambar setangkai bunga mawar yang tertoreh dengan teknik arsir garis silang menggunakan tinta hitam kebiruan. Itu saja, tidak macam-macam. 

Persoalan bagaimana bisa ia luput hingga sekonyong-konyong mawar itu tumbuh di buku yang ia perhatikan sedemikian rupa itulah yang lantas menjadikan lelaki yang terbiasa hidup santai itu tiba-tiba gusar tak keruan.

“Ah!” Pada akhirnya ia mencoba tak acuh dan beringsut membaringkan tubuhnya sambil diselimuti kumandang suara adzan subuh.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *