Lebih Aman, Pamit di Pintu Daripada Musti Masuk Kosan Gadis Itu

Ilustrasi

Itok Aman | Teman Ceritamu

Kau mungkin membaca tulisan kecil ini setelah saya mengunggahnya beberapa jam berlalu. Ya, saya memiliki kebiasaan buruk tentang pola tidur yang tidak teratur. Saya menulis ini saat kau sedang tertidur pulas atau mungkin saat sedang bermimpi indah.

Sejak dulu sewaktu memulai pendidikan tingkat tinggi yang hanya 4 bulan di tanah Jawa Timur itu, saya mulai terbiasa begadang. Entah apa sebabnya. Bukan karena kerja tugas, bukan pula karena sibuk kuliah atau begadang menemani pacar, tidak ada alasan yang pasti. Tiba-tiba ada saja malam-malam tertentu yang membuat saya tidak bisa tidur bahkan untuk semalaman penuh. Kebiasaan itu terbawa sampai saat ini. 

Pada setiap kali terjaga, akhir-akhir ini saya memikirkan banyak hal. Tentang masa lalu, penyesalan-penyesalan atas hal-hal tak tercapai, keluarga kecil, pun cita-cita baru untuk masa depan nanti. Termasuk hal remeh temeh yang saya bayangkan.

Namun sedikit berbeda dengan yang satu ini, tepat pada suatu malam di sebuah kota kecil yang dingin. Kau pasti tahu, maksud saya adalah kota Ruteng. Saya mengunjungi kota itu, dan Maria sedang di kampung. Dia sedang bahagia dengan ipar, ponakan, dan kedua mertuanya setelah beberapa bulan kami tinggal di Labuan Bajo.

Saya inap di salah satu rumah keluarga di Ruteng. Di luar sedang dingin. Entah ada apa, saya ingin sekali pergi ke sebuah kafe, nongkrong sendirian sambil menikmati secangkir kopi hangat.

Saya berpamitan dengan tuan rumah, pergi ke sebuah kafe tanpa mengenakan masker. Persetan dengan masker.

Saat saya melangkah menuju ke barista memesan secangkir kopi, rupanya ada seorang gadis yang duduk sendirian. Mungkin sedang heran menatap saya. Gadis itu tidak menduga saya akan berada di sana malam itu. Ia baru saja tiba beberapa menit lalu sambil menanti minuman pesanannya sendiri.

"Kaka Itok?!"

"Hae, Enu!" Kali ini saya tidak pura-pura kaget. Saya menghampirinya dan berjabat tangan. 

"Mana Kaka Maria? Saya mau ketemu." Senyumnya tulus dan penuh dengan perasaan senang.

"Enu Maria di kampung, Enu dengan siapa?" 

"Saya sendiri. Duduk sini saja, Kaka Itok." 

Barulah saya berani mengambil sikap duduk semeja dengannya. Sebelum bercerita banyak hal, tentu dimulai dengan basa-basi tanya masa lalu. Sebab kami saling kenal saat saya bekerja di salah satu koperasi harian, dan ia sedang duduk di bangku SMA pada beberapa tahun silam. 

Di sela-sela bercerita, seorang pelayan datang mengantarkan dua cangkir kopi latte dengan gambar topping yang berbeda. Yang satunya burung dan satunya lagi bergambar jantung berhias bunga. 

"Enu pilih yang mana? Mau yang gambar burung atau yang gambar jantung?"

Tentu gadis itu memilih gambar jantung dengan hiasan bunga di pinggirannya. 

"Kalau begitu, aku adalah burung yang mati sebab jantungnya telah kau ambil."

Ia tertawa lepas tanpa peduli dengan pengunjung lain di kafe kecil itu. Gadis itu dulunya adalah mantan kekasih dari salah satu sahabat baik saya yang saat itu mengenyam pendidikan di salah satu seminari tinggi. Seorang lelaki yang masih dipanggil frater. Beberapa tahun berselang mereka tidak pacaran lagi sampai hari ini. Sahabat saya sudah keluar dari biara dan mengajar di salah satu SMA Katolik di bawah naungan Yayasan SUKMA. Sedangkan gadis itu baru saja menyelesaikan studinya di UNIKA St. Paulus Ruteng. Dia belum ingin pulang kampung, masih ingin tinggal di kos-kosan menikmati masa-masa terakhirnya di kota yang super dingin itu. Mungkin saja sambil menunggu ijazah keluar atau bisa jadi karena sedang ingin bernostalgia dengan masa hiruk-pikuknya jadi mahasiswa.

Obrolan kami tidak begitu lancar. Bukan karena kaku atau ada rasa canggung hanya saja sebab pertemuannya tidak direncanakan. Sesekali hening, sesekali nyambung. Tiba-tiba dia nyeletuk, "akhirnya setelah sekian lama kita bertemu juga."

Bukan era HP kamera kalau tidak ada sesi foto-foto. Saya mengambil gambar wajahnya beberapa kali lewat Iphone 13 yang baru tiga minggu lalu saya beli di Surabaya lewat adik saya. Juga beberapa foto bersama sok romantis ala gebetan yang sengaja saya minta bantuan pelayan untuk mengambil gambar. Semua foto itu saya kirim ke HP-nya. Dan, diam-diam saya hapus satu per satu di HP saya. Anda tahu, saya tentu tidak ingin hanya gegara foto menimbulkan pertengkaran hebat dengan Maria. Sebab foto bersama yang sok romantis itu tidak pernah saya dan Maria lakukan sebelumnya. Duh, makin parah tuh!

Kopi di cangkir baru sampai setengah sedangkan jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Gadis fresh graduated itu malah makin berapi-api bercerita tentang rencananya sehabis kuliah. MUlai dari bekerja membahagiakan orang tua sampai kriteria jodoh yang harus dengan laki-laki lucu dan periang. Sampai-sampai ia keceplosan, kriteria lelaki idamannya seperti saya, katanya. Katanya. 

Saya tentu tidak berani memberikan beberapa petuah, sebab ia baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sedangkan saya hanya seorang kepala keluarga berusia 29 tahun yang dua kali putus kuliah. 

Pelayan mulai sibuk mengangkat gelas kosong sisa minum dari tamu-tamu yang lain. Satu per satu pengunjung kafe itu mulai beranjak pulang. Dan, dia masih semangat bercerita. Saya sudah makin tidak tenang. Diam-diam mencari selak saat dia berhenti berbicara agar bisa mengajaknya pulang. 

Tadinya ia datang diantar teman, namun seseorang itu sudah pergi ke tempat yang lain. Entah mengunjungi pacarnya atau keluarga. Entah. Tentu, sebagai teman cerita dan abang-abang yang bertanggung jawab, saya menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang. Dia membalas dengan senyum dan angguk tiga kali tanda setuju. 

Dari kafe menuju ke kosannya. Saya memarkirkan kendaraan di gang kecil. Sebab jalan menuju ke kosnya agak bising untuk dilalui motor saat di atas jam dua belas. Kemudian saya mengantarnya sampai di depan pintu kos. Memastikan dia aman sampai di tempat tinggalnya.

Kosan yang sepi, tidak ada orang lain di sana. Mungkin penghuni yang lain sedang pulang kampung atau juga tengah tertidur pulas.

Di bawah remang-remang cahaya lampu beranda kosan, tangannya membuka pintu yang berkunci tipe slot. Saya memerhatikannya. Dan, ia menatap saya masih dengan senyum yang manis seperti di hadapan dua cangkir di kafe tadi.

"Kaka Itok masuk dulu, minum air hangat setelah itu baru pulang." 

Dia tahu saya kedinginan sehingga menawarkan air hangat sebelum pulang ke rumah keluarga. Tanpa perti.bangan saya menjawab dengan polos, 

"Biar saja, enu. Saya tidak usah masuk. Sebentar kalau saya masuk, saya minum air hangat lalu pulang kemudian saya kena dingin lagi. Mendingan dingin sekalian lalu sebentar sampai di rumah keluarga baru minum air hangat dan ambil selimut kemudian tidur."

"Yakin Kaka tidak mau masuk dulu?" Dia mau memastikan apakah jawaban saya benar atau hanya karena canggung. Dan, saya meyakinkannya bahwa saya tidak begitu kedinginan. Kemudian saya berpamitan dengannya dan pulang.

Sampai di rumah, saya mengambil HP dari saku celana. Mungkin saja ada bookingan masuk dari cakon tamu trip di Labuan Bajo. Benar saja, ada beberapa. Namun juga ada pesan dari gadis tadi diantaranya. 

"Kaka Itok, terima kasih untuk cerita malam ini, dan tadi saya benar-benar butuh teman cerita. Eh, beruntung bertemu Kaka. Namun saya sedikit menyesal dan kecewa karena Kaka tidak mau singgah di kos saya."

Saya tersenyum tipis saat membaca pesan itu. Pesan yang dikirim saat saya mengendarai sepeda motor dalam perjalanan pulang ke rumah keluarga. Saya menghapusnya, menarik selimut, duduk sebentar lalu berdoa. Meletakkan kepala di bantal sambil membayangkan wajah manis seorang perempuan. Perempuan paling cantik di dunia bernama Maria. 

Kebiasaan kecil yang selalu saya lakukan sebelum tidur adalah membayangkan wajah manisnya dijamin mimpi dalam tidur selalu yang indah-indah sebab Maria selalu dengan ceria-cerianya. Ya, kebiasaan yang bahkan saat ia tertidur di samping saya sekalipun. 

Cerita kecil ini adalah salah satu diantara beberapa yang ada di kepala saya saat saya tidak bisa tertidur setiap malamnya. Sambil mengenang masa lalu, memikirkan masa depan, dan membayangkan senyum manis Maria. Oh, Tuhan!

Eh, selamat menikmati kopi pagi. Lekas sembuh semua luka, selalu bahagia walau hidup sesekali dihantui duka. Ini barang kita yang stel. Semangat pagi. Salam dari Labuan Bajo. 🤗

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *