AYAH YANG HILANG | Bagian 1

 

Foto dari Google

Itok Aman |Teman Ceritamu


Nak, sudah berapa bulan berlalu, tahun berganti, aku ingin sekali menulis tentangmu. Ingin sekali. Hanya saja aku takut dengan ibumu. Ia akan marah besar bila mengetahui aku merindukanmu. Kau tahu badai yang paling membahayakan di dunia ini? Ya, amarah ibumu yang tidak bisa kulawan dengan keras kepala, sebab di hadapannya aku selalu tunduk atas nama cinta.

Pagi ini aku tidak mendengar ayam berkokok, di kota, ayam kampung hanya sering aku jumpai di warung-warung makan. Belum ada satupun yang hinggap di pohon-pohon samping rumah, yang rajin membangunkan warga saat fajar menyingsing. Selain aku merindukan suasana itu, aku membayangkan satu hal. Kau tertidur pulas di samping ibumu, aku berbaring hening di sampingmu. Bergerak sedikit, kau akan bangun. Aku membayangkan rewelmu yang minta ampun bila tidur tak sampai bangun tetapi dibangunkan karena tubuhku yang bolak-balik memelukmu sambil membelai rambut ibumu.

Tubuhku di ibukota, tetapi perasaan dan pikiran di kau dan ibumu. Seringkali demikian bila doa-doa yang kudaraskan tidak tepat waktu ini malah membangkitkan sendu atas nama rindu. Saat-saat seperti ini, ingin sekali aku pulang. Menemuimu diam-diam, melihatmu dari balik pagar tembok rumah suami baru dari ibumu. Kau panggil siapa laki-laki yang meminang ibumu setelah tujuh bulan kau di kandungannya? Apa kau memanggilnya ayah? Lalu aku? Sebongkah rasa laksana batu yang menutupi rongga dadaku untuk bernapas lega saat membayangkan itu.

Aku sengaja menulis ini agar kelak saat aku lupa menceritakannya kembali padamu lantas usiaku semakin uzur, kau bisa membacanya kapan saja kau mau. Empat tahun lebih aku menjalin asmara dengan Ibumu, kau tidak tahu bagaimana aku ditolak dan dihina oleh kedua orangtuanya yang kau panggil opa dan oma sekarang. Penolakan demi penolakan terjadi setiap kali mereka melihat aku bersama ibumu.

Kata mereka, harta adalah bagian terpenting untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Aku sadar. Aku tak bergelimang harta, aku hanya bergelimang 'haha'. Bagiku, membahagiakan kau dan ibumu hanya dengan cinta yang kuat, bagi mereka, tidak ada lain selain gundukan dolar berlipat-lipat, tanah berhektar-hektar, hewan berkandang-kandang, bisnis yang mendatangkan keuntungan.

Apalah daya aku ini hanya anak petani sawah dengan sebidang tanah kebun kopi hanya untuk kebutuhan sandang dan pangan yang pas-pasan. Kadang-kadang ayahku bekerja sebagai tukang kayu bila ada yang memintanya mengerjakan rumah. Putus kuliah hanya karena uang tidak cukup. Bekerja di perusahaan orang hanya sebagai suruhan. Aku tidak mengimpikan hidup yang mahal, hanya cukup menghasilkan uang dengan cara yang halal, itu sudah sangat lumayan membahagiakan. Namun orangtua dari ibumu tidak paham soal perjuangan.

Tanyakan pada ibumu bila kau sudah dewasa, apakah ada satu manusia di dunia ini yang terlahir dengan harta dan kemewahan? Apakah ada yang meninggal dengan membawa pulang semua yang dia dapat selama hidupnya? Aku belum pernah menemukan itu. Kita terlahir sama, telanjang tak berada, mati tak bernyawa.

Sambil menatap kekosongan di hadapanku, aku mengingat kembali bagaimana aku dan ibumu membuat kesepakatan untuk tetap menikah walau tak ada restu dari kedua orangtuanya. Tibalah suatu malam yang penuh dosa, kami bertukar peran, sesekali aku berdoa di atas tubuhnya, dan dia mengucapkan amin lewat desahan-desahannya. Sesekali dia yang bersujud di selangkanganku. 

Awalnya berniat bila dia mengandung atas tingkah di malam yang terkutuk itu, mungkin saja ada restu dari kedua orangtuanya. Tapi nyatanya tidak, tetap saja ada penolakan untukku. Sesekali dia berniat mengugurkan kandungannya, aku bilang jangan. "Ada aku yang rela mati untuk menghidupkanmu dan bayi kita." Kataku meyakinkannya.

November adalah bulan paling menyakitkan untuk mengenang masa-masa itu. Saat ibumu hamil tujuh bulan, terdengar kabar bahwa ada seorang duda yang baru beberapa bulan istrinya meninggalkan dia dan kedua anaknya menghadap orangtua ibumu. Kata mereka, bayi yang dalam kandungan ibumu itu adalah bayi lelaki itu. Aku pikir itu hanyalah kabar burung semata, ternyata benar-benar kabar buruk yang membuatku diam seribu kata. Lelaki itu yang sekarang kau memanggilnya ayah.

Entah sampai kapan kau akan tahu siapa aku, tetap saja akan kutulis tentang kita; kau, aku dan ibumu, pada saat-saat mata tidak kantuk, pada saat-saat merindukanmu yang membuatku selalu terjaga.

Dan, satu hal yang perlu kau ketahui, sampai saat ini aku masih bersyukur saat ibumu mengikuti apa yang kubilang kala ia berniat menggugurkan kandungannya. Beruntung hati kecilnya masih mendengar apa yang kukatakan. Hingga suatu saat nanti, aku bisa melihatmu bermain bersama teman-temanmu, mencariku atau bahkan memukul-mukul aku yang tidak bertanggung jawab atasmu itu. Intinya aku bisa melihatmu, mungkin saja dosaku berkurang lantas menghamili ibumu di luar nikah, berlari jauh menghilang dari tanggung jawab atas nyawa seorang perempuan dan seorang bayi laki-laki yang tak berdosa. Aku mencintai kau dan ibumu dalam doa-doaku yang tak kau ketahui di mana dan kapan aku membicarakanmu di hadapan Tuhan. 

Tidak semua perempuan bisa membesarkan seorang anak tanpa ayah kandungnya. Tapi ibumu kuat. Dia melewati tantangan-tantangan berat itu dengan hati kokoh yang dahsyat.

Baik-baik selalu di sana, Nak. Bila ada sesuatu yang terjadi tanpa kau bayangkan, bila ada hal-hal baik yang menghampiri kau dan ibumu tanpa usaha suami barunya, begitulah doaku dari kejauhan. Tentang menghapus dosa-dosaku, tentang kedamaian kalian berdua.


#bersambung...!


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *