Lelaki Kecil di Pinggir Jalan

 


Oleh: Itok Aman | Teman Ceritamu


Pada selembar kertas yang ia pungut di pinggiran jalan, seorang anak menulis sebuah cerita pada ibunya di Surga. Entah lewat jasa pengiriman mana ia kirimkan surat itu, ia tulis saja. Entah sampai pada ibunya atau tidak, ia tulis saja. Mengalir kata-kata sepanjang denyut nadinya, seputih tetes rindu yang tak sengaja jatuh dari pelupuk matanya yang merah.


"Ibu, apa kabar? Baik-baik, kan? Doa-doaku tidak mampu membalas setetes pun dari darah yang bercucuran saat kau melahirkan aku. Bahkan setiap bening airmataku pun tak mampu menghapus sebercak merah kasihmu. Sekalipun aku rapuh di jalan ini, kau tahu, aku selalu mendoakanmu walau jarang dan kadang lupa.


Di jalan ini, aku bertemu seorang perempuan yang usianya belasan tahun lebih muda darimu. Dia tidak mengenalku dengan baik, demikian pun aku. Entah dia siapa yang mempertemukan aku dengannya, tapi kasih sayang tumbuh tanpa tanya di antara kami.


Beberapa kali ia memintaku menginap di jantungnya. Sungguh, cinta mengalir lembut bukan main dari dadanya. Ah, aku pikir itu kau, Ibu. Nyaris tak bisa kubedakan, kau yang dulu memperlakukan dengan sayang yang cerewet dan dia yang mengasihi dengan celoteh yang lugas. Rasanya sama, Bu. Apa itu doamu selekas kau tiba di surga sehingga Tuhan mengirimkan sepasang kekasih yang tak ragu memungutku di jalan sunyi penuh karang ini?


Malam tadi, seperti biasa sebelum tidur, aku menyapa Tuhan dengan sebuah tanda, kupejamkan mata. Ada dua perempuan yang mengintip doaku. Haruskah kusebut namanya? Bukankah kau selalu mengikuti setiap perjalananku dengan jiwamu yang diam-diam mengelus rambutku yang kadang berbau ketombe semenjak kehabisan uang membeli sesachet shampoo?


Ibu, apa kau mendoakan mereka juga? Kapan kau bertamu ke taman bunga di halaman rumahnya? Akankah kau menulis sepotong surat untuk memberitahuku cara berterima kasih bila aku tak berbudi lagi?


Ibu, pinggiran jalan yang pernah kau sapu dengan seikat lidi dulu, kini telah kembali berdebu oleh kakiku yang tak beralas sepasang sandal. Namun setiap bibir yang kutemui masih bersih dengan senyum yang lembut di wajah mereka yang anggun. Seanggun kau saat tidur di sampingku."


Kemudian ia hanya menulis titik-titik dengan beberapa tetesan airmata. Lelaki kecil itu kehabisan kata-kata karena cinta begitu menggebu di dalam hatinya. Pada mulanya dia bukan penulis, apalagi penyair. Namun beberapa kali ia terlampau berani membahasakan cinta yang tumbuh dalam hatinya lewat berlembar-lembar kertas.


Ia mengambil sebatang ranting bunga yang kering jatuh di sampingnya. Di tanah, bagian kanan kakinya ia tak sengaja menulis garis-garis yang bukan berbentuk huruf-huruf seperti yang ia biasa tulis. Mungkin maksudnya 'terima kasih' entah pada ibu dan ayahnya atau pada orang-orang yang mengasihinya. Mungkin juga ia menulis untuk Tuhan yang tak jemu mengiringi langkahnya.


Lima menit kemudian ia kembali berjalan, menggendong karung berisi koran dan plastik bekas di bahunya kanannya. Ia meremas kertas itu dan menyisipkannya di saku celana. Ia lupa, sakunya bolong. Entah ada yang membacakannya untuk ibunya, atau untuk Perempuan yang diam-diam ia panggil ibu. Mungkin saja akan tersapu banjir kalau saja tiba-tiba hujan lebih deras jatuh daripada air dari matanya yang selalu luruh.


Sampai ia pergi, belum sempat menulis sepotong kata tentang ayahnya. Mungkin saja, Ibu adalah ayah lain baginya yang menyatu dalam rindu dan cinta dengan porsi yang sama besarnya.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *