ROKOK ITU SOAL SELERA, BUKAN UKURAN KELAS SOSIAL

 

Dokumen pribadi, Bos. Senggol dong!

Itok Aman • Teman Ceritamu


Saya menulis bagian ini, mula-mula dari pertanyaan pemilik kios di dekat rumah saya. Setelah bangun tidur pagi tadi, saya hendak membeli sebungkus rokok s*ga. Pemilik kios sedikit terkejut.

"Eh, bukan s*rya lagi? Sudah ganti rokok rupanya."

"Saya mau coba rokok lain dulu, Kaka."

Saya memberikan uang, dia memberi rokok lalu saya pulang ke rumah. Menulis ini sembari menikmati kopi pagi dengan kepulan rokok yang saya belikan tadi.

Harga rokok s*ga di kampung saya lebih murah dibanding rokok s*rya. Tentu bukan hanya karena atas dasar ketiadaan uang yang membuat saya mengganti rokok hari ini, tetapi lebih kepada ingin mencoba rasa rokok baru.

Sebagai perokok aktif, setidaknya saya ingin membagikan sedikit informasi bahwa rokok yang, dalam hal ini tembakau dalam gulungan kertas dan istilah sigaret pertama kali ditemukan di Perancis pada tahun 1830. Namun, pada tahun 1847 mesin pembuatan rokok pertama kali yang dipatenkan ialah penemuan dari Nepomuceno Adorno, seorang perokok berkebangsaan Mexico.

Di Indonesia sendiri rokok kretek pertama kali disebarkan – yang juga dianggap sebagai penemu rokok kretek – oleh Mbok Nasilah, pada tahun 1870. Mbok Nasilah mengembagkan rokok kretek sebagai pengganti nginang (mengunyah sirih pinang) di warungnya. Mbok Nasilah menyuguhkan rokok kretek kepada setiap kusir yang datang berkunjung ke warungnya kala itu. Hingga kemudian rokok makin berkembang dengan berbagai varian rasa, merk, dan harga sampai pada hari ini.

Saya pikir, Mbok Nasilah ini juga sangat berjasa bagi perusahaan-perusahaan rokok yang tengah berkembang hari-hari ini. Negara pun demikian, sebab dengan banyaknya konsumen rokok di Indonesia, perusahaan rokok sulit bangkrut, juga perokok menyumbang banyak uang pada negara lewat pajak dan bea cukai rokok.

Merokok pada mulanya hanya sebatas selera, namun para perokok memiliki kebiasaan merokok yang turut berkembang. Seperti hambar rasanya bagi sebagian besar perokok jika tidak merokok sebatang dua batang sehabis makan, merokok sambil ngopi atau ngeteh, juga merokok saat berdiskusi atau membaca dan menulis, dan lain-lain. Dan lain-lain.

Pada hari ini, banyak perusahaan yang mengembangkan produksi rokok. Tentu dengan varian cita rasa yang berbeda. Demikian pun harga. Karena perbedaan harga, rokok kini bukan lagi sebatas selera namun tanpa disadari adalah perbanding kelas sosial di dalamnya.

Selain varian cita rasa, perusahaan-perusahaan yang memproduksi rokok juga mempunya trik marketing yang masing-masing unik dan tentu gagah bukan main. Jika tidak bermain di kualitas rasa, mereka bermain di kuantitas (batangan). Sebut saja sebagai contoh, sebungkus rokok surya yang di kampung saya dijual dengan harga Rp. 20.000 sampai Rp. 22.000 per bungkus, dalam sebungkus diisi dengan 12 batang rokok. Sedangkan rokok yang dinamai Cronos dijual dengan harga Rp. 13.000 per bungkus memiliki isi 20 batang dalam sebungkus.

Perokok boleh-boleh saja berbicara, soal kualitas pembeda citarasa antara Surya dan Cronos, tetapi bagi sebagian orang yang menerima bahwa kualitas Surya lebih ok daripada Cronos namun karena keadaan kantong, mereka akan tetap memilih Cronos sebagai rokok pilihan. Sebab dengan uang Rp. 13.000 mereka sudah bisa memiliki sebungkus rokok dengan jumlah 20 batang. Namun jika rokok surya dibeli dalam jumlah uang seharga sebungkus Cronos hanya akan mendapatkan 7 batang rokok Surya yang diketeng. Di sini, harga rokok sudah menunjukkan kelas sosial.

Tentang harga rokok ini, di dunia kerja yang sering kita temukan karyawan dan bos sedang bersamaan. Karyawan bukan tidak mungkin mengisap rokok harga murah dengan jumlah batangan yang lebih banyak, sedangkan bos masih tetap konsisten dengan rokok sesuai seleranya. Tapi hanya satu dua bos saja yang, bukan perokok, atau yang mau merokok rokok yang sama dengan karyawannya tanpa peduli dengan seleranya sendiri.

Kita terlalu jauh jika membandingkan Raffi Ahmad dan Andre Taulany yang gonta-ganti mobil dengan harga yang wah. Di sekitar kita, ada juga tidak sedikit orang yang membeli barang-barang mewah hanya untuk mencapai sebuah pengakuan sosial. Saya tidak punya barang-barang mewah itu.

Saya hanya seorang perokok yang ketika di tongkrongan, melihat teman-teman mengeluarkan sebungkus rokok Sampoerna, Marlboro, Surya dari saku mereka. Sedangkan saya hanya mengeluarkan niat dan keberanian untuk memilih rokok mereka yang bagian mana yang saya isap. Minder, memang. Tapi untuk saat itu, selalu saja ada cara untuk mengelabui bahwa saya bisa ambil rokok orang dengan santuy tanpa beban, tanpa tedeng aling-aling. Cara mengelabui yang paling ampuh ialah, menyediakan banyak materi obrolan, berusaha nyambung. Dan yang paling penting ialah, jika tidak bisa memiliki rokok, sekurang-kurangnya memiliki korek sendiri.

Dari semua itu, akan sangat memalukan apabila, sudah tidak memiliki rokok, tidak memiliki korek, tidak memiliki rasa malu isap rokok milik orang lain tapi tanpa sadar menyimpan korek orang di kantong sendiri.

Di tongkrongan pun, dari aneka merk rokok dengan varian rasa dan harga juga menunjukkan bukan hanya soal selera tapi juga menunjukkan kelas sosialnya sendiri. Lalu, apakah pencopet korek ini juga punya kelas sosial? Entahlah! Siapa mereka-mereka ini.

Lain daripada itu, orang-orang yang memiliki penghasilan lebih di bawah kategori cukup namun perokok, seperti saya, adalah orang miskin yang memiliki mental buruk; membeli rokok merupakan cara memiskinkan diri juga memperkaya orang kaya.

Juga, pada suatu hari, dari buku saya menemukan sebuah informasi yang saya baca tentang bahaya merokok. Selain membuat diri tambah miskin juga ternyata berbahaya untuk kesehatan. Mulai sejak hari itu juga, saya memutuskan untuk berhenti membaca buku. #jlep

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *