Selamat Hari Guru, Guru Yohan!

Saya dan Guru Yohan


Itok Aman | Teman Ceritamu


Bertepatan dengan Hari Guru ini, tanpa mengurangi rasa hormat pada guru-guru yang mendidik saya dalam ruang kelas, saya ingin menulis seorang guru milenial yang mengajarkan banyak hal di luar ruang kelas, guru yang sempat membuat saya kesal.

Saya memulainya dengan sebuah kalimat komparasi; lebih baik bergerak dalam diam daripada berdiam diri dalam pergerakan.

Pak Mo'at Yohan. Salah seorang guru yang patut diapresiasi pergerakan-pergerakannya selama ini. Ia seperti guru lain, berbagi adalah hal mulia. Yohan adalah guru yang atraktif. Memiliki semangat literasi yang tinggi dengan jiwa sosial yang baik sebagai penyeimbangnya.

Banyak guru muda yang hidup dan mengabdi di era milenial ini, tetapi tidak semuanya melianialis seperti beliau. Yohan juga seorang guru pegiat literasi, pegiat komunitas, pegiat kemanusiaan yang aktif.

Selama setahun terakhir membangun relasi dengan komunikasi yang intens dengannya membuat saya berani mengakui bahwa beliau adalah guru milenial yang bergerak dalam diam. Mengapa? Hanya orang-orang yang mengenalnya dekat yang tahu siapa Yohan dan apa yang sudah ia lakukan untuk literasi, sosial dan kemanusiaan. Padahal di luar sana banyak orang yang sudah merasakan hasil dari pergerakannya tetapi tidak tahu siapa dirinya.

Terakhir kami bertemu ia membuat saya sedikit kesal. Seminggu sebelumnya, saya sedang sibuk membantu seorang pasien dan keluarganya untuk mencari donasi biaya pengobatan pasien. Saya tidak kenal dan belum sempat bertemu dengan keluarga pasien itu sebelumnya. Yohan juga membantu saya dengan membagikan postingan saya di akun media sosialnya.

Setelah dana terkumpul, saya dan salah satu teman saya nengunjungi rumah pasien dan keluarga, mengantar donasi yang sudah kami kumpulkan. Dua hari berselang, saya memandu sebuah resepsi pernikahan di Borong.

Di hari yang sama antara bahagia memandu acara, perasaan saya bercampur sedih ketika mendengar kabar ibu kandung dari Yohan berpulang ke rahmat Allah. Karena jarak dari tempat resepsi pernikahan yang saya pandu dan rumah Yohan yang tidak begitu jauh, saya memutuskan siang memandu pernikahan, sorenya ke rumah Yohan. Melayat. 

Sampai di sana (di rumah Yohan) saya bertemu dengan beberapa teman yang lain yang juga mengenal saya. Kehadiran saya mengubah suasana, sempat merasa tega dengan Yohan dan keluarga, "Kae Guru, saya minta maaf, cerita-cerita lucu di sini saat ini."

"Oleee... aman saja tah. Saya senang kraeng datang, biar jangan terlalu sunyi."

Sebetulnya saya tidak mau melucu di saat-saat seperti itu, tapi seperti teman-teman yang lain saya berniat menghibur agar menghilangkan kantuk. Namun, makin lama makin kocak dan saya menepi sebentar dari perkumpulan itu. Duduk berdua dengan Kae Yohan, lalu tanya-tanya perihal riwayat sakit dari Ibunya.

Di moment inilah saya kesal dengan Yohan. Selama ini dia sudah banyak membantu banyak orang atas nama sosial dan kemanusiaan. Padahal, sakit yang diderita ibunya membuat orang banyak di sekitarnya berkesempatan membantu Yohan, keluarga dan ibunya. Tetapi Yohan tidak mau. Dia sudah sejak awal bulatkan tekat untuk mengurusi hal-hal berkaitan dengan tangan dan cintanya sendiri pada Ibu.

Moment kesal saya pun muncul saat menulis ini, ketika saya kehabisan kata-kata untuk menarasikan kehebatan Yohan. Inilah bukti, betapa miskinnya kata-kata yang saya miliki di hadapan cinta yang kaya.

Yohan mengajarkan saya tentang budi pekerti dari pengalaman hidupnya. Dari banyak orang yang memberikan saya tentang pelajaran hidup, satu lagi orang yang mengajarkan saya tentang ketulusan; memberi tanpa berharap imbalan tetapi memberi dan berharap apa yang diberi itu bermanfaat bagi yang menerimanya. Di sisi lain, Yohan adalah guru yang berjiwa besar, dia tidak hanya mengajarkan banyak orang tetapi juga belajar dari banyak orang. Yohan paham, semua orang adalah guru dan semua kita adalah murid. 

Saya pun yakin, di luar sana masih ada banyak manusia-manusia hebat dan luar biasa, sebagaimana Yohan yang tak habis dinarasikan, yang cintanya seperti sepoi angin – tak terlihat namun terasa. 

Selamat Hari Guru, Yohan! Tetaplah menjadi manusia yang memanusiakan manusia-manusia lain dengan cara Anda sendiri. Tetaplah menjadi laki-laki, menjadi pegiat yang bergerak dalam diam bukan berdiam diri dalam pergerakan. 


Mari bersulang, Guru! 🍻

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *