Gadis Skotlandia dan Senja Labuan Bajo

 

Jade Clark • Dok Pribadi Itok Aman


Itok Aman • Teman Ceritamu


Sekitar jam dua dini hari, sebuah pesan baru di WhatsApp muncul tanpa rencana dengan kode nomor +44. Nomor seluler dari Skotlandia. Saya membacanya dalam diam sebab tak mesti bersuara. Bahkan sama seperti ketika kau membaca tulisan kecil ini. Pun saat pesan itu mendarat, Maria sedang tertidur pulas.

"Hi there, I found your contact on instagram. I am interested in a boat trip next month. What price is it for daily trip and what are the speedboat looks like?

Regards,

Jade Clark.."

Jauh sebelum menjadi Tour Guide dan Travel Planner, saya sudah terbiasa begadang nestapa. Dulu hanya sekadar membuang waktu tanpa tahu apa tujuannya, namun sekarang menjadi satu keuntungan tersendiri. Kebanyakan mendapat bookingan trip datang dari wisatawan mancanegara di belahan negara barat pada pagi dini hari. Tidak banyak tapi setidaknya ada.

"Hi, Jade. Bob here. Let me send you the price and itinerarry first. Hopefully you will love me. Sorry, I mean love the trip." 

Percakapan tentang trip sudah fix. Jade langsung suka dengan tawaran yang saya berikan. Harga dan itinerarry yang seimbang untuk Jade. 

"How can I book it and pay the deposit for you?"

"I will send you the invoice and my bank account. Can I get your e-Mail?"

Gadis yang seumuran saya itu tidak hanya mengirim alamat surelnya, tetapi juga passport untuk saat trip nanti saya bisa kirim ke pihak kapal sebagai data diri tamu demi kelengkapan clearance di syahbandar dan lain-lain. 

"Would you like to book the hotel for me?"

"Sure."

Saya mengirim gambar beserta harga dari beberapa hotel. Jade memilih salah satu. Kebetulan beberapa staff di hotel itu mengenali saya. Beberapa kali booking untuk tamu yang berbeda, juga beberapa kali mereka menyaksikan saya saat di panggung sebagai MC atau standup comedian. Beberapa staff yang ramah, yang sering mengaku kalau mereka juga menonton konten saya di youtube, tiktok, dan membaca tulisan saya di beranda media sosial. Ini adalah poin lain sebagai bagian dari kemudahan. Memulai kerja dengan membangun relasi yang baik. 

Kembali ke Jade.

Jade mengirim capture tiket pesawat yang sudah di-booking-nya. Gadis itu akan terbang dari Bali dengan pesawat Air Asia dan tiba di Labuan Bajo pada sore jam dua lewat sedikit.

Sebagai pemandu yang melayani tamu dengan ramah, saya menawarkan diri untuk menjemput Jade di Bandara. Bukan hanya sebagai inisiatif, tapi ini sudah menjadi SOP. Agent yang baik mesti mejemput tamunya di bandara. Menggunakan kendaraan sendiri ataupun menyewa kendaraan lain. Intinya tamu wajib dijemput dan diantar ke hotel tempat mereka menginap saat di Labuan Bajo. 

Akan tetapi untuk Jade sedikit berbeda. Saya lebih suka menawarkan para solo traveller dengan menjemput mereka menggunakan skuter milik saya yang tidak lengkap surat-suratnya. Seunit sepeda motor matic keluaran tahun 2014 yang sengaja dirancang trail. 

"Then it will be my first time use the scooter. Haha..."

Gadis yang seumuran saya itu mengaku tidak pernah menumpangi sepeda motor dalam hidupnya. Ini akan menjadi pengalaman pertama untuk Jade.

Setelah sebulan menunggu, akhirnya waktu menunggu Jade telah tiba. Sejak jam dua kurang sedikit saya sudah berada di Bandar Udara Internasional Komodo untuk menjemput Jade sembari menenteng sebuah kertas bertulis "Welcome to Labuan Bajo, Ms. Jade". Ini salah satu cara yang digunakan para pelaku wisata saat menjemput tamu. Termasuk saya. Menunggu tamu sebelum mereka mendarat adalah keharusan.

Saat Jade melangkah keluar dari pintu kedatangan, dia melihat seorang anak muda berambut keriting yang sengaja dilepas afro mirip gaya rambut para pemuda Afrika sambil menenteng sebuah kertas bertuliskan selamat datang beserta namanya. Gayung bersambut, senyum Jade langsung melekat di mata saya. Bak kegirangan seorang kekasih saat dijemput di tengah kerumunan orang-orang yang menunggu, datang, dan pergi.

Shakehand, hi five, and give a hug. Budaya barat yang melekat bagi pemandu dan para turis asing. Tidak semua, tapi beberapa. Jabat tangan, tos, dan berpelukan. Kali ini belum ada ciuman. Belum!

Saya meminta izin untuk membawakan tasnya dan mengajak Jade menuju ke parkiran. Dia sudah tahu, saya akan menjemputnya dengan skuter kesayangan saya. 

"Wow, my first experience!" 

Ia sambil tersenyum memandangi skuter itu. 

Sebagai pengalaman pertama memboncengi skuter, Jade bingung harus bagaimana untuk berpegangan dengan nyaman. Saya menawarkan dua opsi. Memegang gagang bagian belakang sadel atau memegang gagang saya. Tidak, maksud saya melingkar lengannya di pinggul saya. Jade mencoba opsi pertama namun makin jauh perjalanan, makin romantis pemandangan, ia lebih nyaman memeluk seorang pria yang setia memegang gagang setir.

Jade bisa saja saya antar langsung ke hotel tempat ia menginap yang sudah saya booking sebulan sebelumnya. Namun, saya menawarkan eksplore kota Labuan Bajo secara gratis untuknya. Tidak lari jauh dari Goa Batu Cermin, Puncak Waringin, dan Sunsetan di Bukit Sylvia.

Tentu dia sepakat dengan senang hati. Sebagai imbalannya, Jade menawarkan untuk dinner bersama malam nanti setelah check in hotel. 

Usai sunset-an di Bukit Sylvia, saya menawarkan Jade untuk mampir di caffe kecil tempat salah satu kawan saya bekerja. Di sana, Jade membelikan dua botol bir berukuran sedang. Satu untuknya dan satu yang lainnya untuk saya. 

Kami bercerita tentang banyak hal. Tentang kehidupan di Labuan Bajo, tentang Indonesia yang sepengetahuan saya, juga tentang Skotlandia dari cerita Jade. Ternyata, Jade adalah gadis kelahiran Filipina yang memilih melanjutkan studi dan kemudian bekerja di Skotlandia sejak 2012 lalu. 

Mentari sudah pergi dengan teduh. Cahaya kuning keemasan yang jatuh pelan itu menambah keromantisan tersendiri untuk obrolan saya dan Jade yang ditemani beberapa lagu pop barat keluaran tahun 90-an. Saya mengajak Jade menuju hotel untuk check in. 

"Let me fix my bussines first, and I will text you for dinner soon."

"Ok, Lady. Just keep in text."

"Would you like to pick me up at 7.30 PM?"

Saya terdiam sebentar. Saya pikir itu waktu yang terlalu singkat. Rupanya ia tak sabar untuk keluar dan jalan-jalan lagi ke tempat makan dan juga ke tempat-tempat live music di seputaran Labuan Bajo. Harus dengan alasan yang akurat untuk menjelaskan dan memberi alasan pada Maria. Seorang perempuan cantik yang selalu menunggu saya pulang dengan cinta di sebuah kamar kecil yang disebut kos.

Dan, sebagai manusia yang rapuh, dalam perjalanan pulang ke kos, saya hanya berpikir tentang alasan apa yang harus saya sampaikan pada Maria. Namun, yang tak terduga, keberuntungan tidak lari jauh dari seorang suami muda yang setia. 

"Halo, Bang Itok. Apakah besok masih ada slot untuk fullday trip? Saya dengan teman-teman, kami sudah hubungi agen lain namun terjadi miskomunikasi sehingga harus booking trip baru. Saya dan kawan-kawan totalnya delapan orang."

Sebuah pesan penyelamat yang bisa dijadikan alasan masuk ke WhatsApp sekitar 50 meter sebelum tiba di kosan.

"Enu, saya kayaknya harus keluar lagi. Ini ada tamu yang harus saya temui."

Dengan sengaja menyimpan HP di tempat cas, lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Sat set, sat set. Selesai. Ganti pakaian sedikit laki dan parfum seperlunya. Mengecup bibir Maria dan pamit pergi lagi.

Jade belum mengirim pesan, bisa terlihat dengan senyum tulus Maria.

"Hati-hati, Nana. Pulang jangan terlalu mabuk." 

Saya balik sebentar, mengecup sekali lagi bibir manis itu. Mengambil kunci motor dan pergi menjemput Jade ke hotelnya.

"Hi, I am ready for hang out. Are you ready too?"

Pesan yang baru saja masuk saat saya memarkirkan sepeda motor di parkiran hotel. Sambil membalasnya, saya melangkah menuju loby. Ternyat Jade sudah menunggu dengan posisi yang anggun di sana. 

"Where will we go? Bring me to the best restaurant that you recomend me for our dinner."

Jade menyerahkan seluruh waktunya malam itu. Dia pasrah. Ke restaurant mana saja yang saya bawa, asalkan itu restaurant terbaik versi saya yang bisa direkomendasikan untuknya. 

Restaurant dengan menu makanan yang tidak mengecewakan dan pemandangan lampu kota yang menambah nilai keindahan. Saya membawanya ke sana. Jade terpukau. Beberapa kali mendengarnya bergumam, "I am falling in love."

Sebuah kekaguman terdengar ambigu bagi saya. Apakah Jade jatuh cinta dengan pesona Labuan Bajo, ataukah dengan seorang pria yang memboncenginya sejak keluar dari parkiran bandara siang tadi? Duh, saya butuh kejelasan. Pada posisi ini, saya dan Maria hilang kabar untuk sementara. Sementara saja.

Seorang pelayan datang mengantarkan menu sesuai pesanan. Senyum yang ramah penuh kekhasan gadis timur. Tapi saya masih fokus pada Jade. Menemaninya dengan totalitas. 

"Then, where will we go for enjoy the music and some drinks?"

Jade pasrah untuk kedua kalinya. Ke kafe terbaik dan live music yang memukau. Di sana ada beberapa menu minuman pilihan. Ia pasrah bukan karena tidak tahu tentang Labuan Bajo, baginya sejak awal berjumpa saya sudah merekomendasikan banyak tempat yang di luar konsep dan membuatnya semakin terpukau dengan Labuan Bajo. Itulah mengapa gadis yang sedikit bermata sipit itu tak segan-segan membayar semua makanan dan minuman untuk saya dan dirinya. 

Setelah membereskan bill, saya membawa Jade ke kafe yang pertama. Kafe live music yang hanya dibuka sampai jam dua belas.

Di sana Jade memesan sebaket bir untuk kami berdua. Sebotol pertama saya angkat dan membukakan untuknya, kemudian untuk saya sendiri.

"Welcome to Labuan Bajo."

"My first time and I really love it."

"Enjoy your time. Cheerz…!"

Baru saja tegukan pertama, HP saya berdering lagi. Kali ini bukan tamu tapi seorang perempuan yang sedang menunggu di kosan itu. Maria tentunya.

"Nana, bagaimana dengan tamunya? Mereka inap di hotel mana? Berikan yang terbaik, jangan mengecewakan."

Pesan singkat yang mengingatkan saya pada calon tamu dengan jumlah delapan orang yang nyaris terlupakan tadi. Kali ini, secemas-cemasnya saya pada Maria di hadapan gadis kelahiran Filipina itu, Maria tetap menjadi malaikat.

"Who is that?"

Tanya Jade penasaran sambil menggenggam sebotol bir di tangan kanannya.

"Some client who wants to book the other trip for tomorrow." 

Sambil menyambung percakapan dengan Jade, saya membalas pesan Maria dengan teduh dan meyakinkan. Kemudian diam-diam membuat reservasi penuh konsentrasi untuk tamu yang tadi sempat mengirim pesan.

Malam makin panjang, Jade belum puas menikmati situasi kafe dan perkotaan di Labuan Bajo. Lagi-lagi dia bertanya, kemana lagi saya akan membawanya setelah kafe yang satu itu. 

Kali ini saya mengajaknya ke sebuah tempat live dj. Dengan setengah mabuk dari kafe pertama, di sana Jade mulai menunjukkan skillnya. Dia berdisko ria tanpa beban. Seolah-olah Labuan Bajo adalah miliknya. Beberapa kali dia menarik lengan saya untuk bergoyang bersamanya. Padahal saya hanya ingin menikmati minuman sambil memerhatikannya agar tidak diganggu pengunjung lain. 

Makin lama saya perhatikan Jade bergoyang makin menggila, saya sedikit cemas. Lalu saya pelan-pelan mengajaknya pulang. Sesekali ke lantai dansa, sesekali ke meja mengambil minuman. Ini parah ini. Saya sebagai temannya tentu agak panik, sebab taruhan kenyamanannya ada pada saya. 

Melihat jade menikmati suasan dan berkali-kali mengajak saya untuk turun ke lantai dansa, kali inj saya terpaksa menyetujuinya. Sesekali kali dia menuangkan minuman ke mulutnya, sesekali ke mulut saya. Gadis yang tadinya lugu akhirnya terlihat aneh dan membingungkan. 

"Hey, I love it."

"Pardon me?"

Di tengah riuh musik DJ, saya tidak begitu mendengar ucapannya dengan jelas. Lalu mendekatkan telinga ke mulutnya untuk lebih memastikan apa yang ia bicarakan. 

"I love this." Kali ini ia mendaratkan kecupan ke pipi kiri saya. 

"I love it...!" 

"I really love it."

Lagi-lagi dia mengecup. Nyaris seperti wahyu dalam sebuah Kitab, "jika seseorang menampar pipi kirimu maka berikan pula pipi kananmu," tapi Jade punya bukan tamparan. Ini kecupan. Kecupan yang menampar jantung saya. Sungguh bukan main! 

Beberapa kali tenggelam dalam musik DJ keluaran terbaru yang disuguhkan. Jade sungguh menikmati malam itu. Juga beberapa kali ia nyaris jatuh tepat di hadapan saya akibat minuman yang berlebihan. Tidak berbahaya, saya menangkap dan menopangnya saat ia hampir jatuh. 

Kafe masih dibuka, malam masih panjang. Namun situasi Jade yang tengah mabuk itu membuat saya semakin cemas. Bagaimana tidak, besok pagi sekitar jam lima lewat ia akan dijemput untuk tripnya ke kawasan Taman Nasional Komodo menggunakan speedboat sharing trip dengan partisipan lain. Saya harus mengajak dan mengantarnya pulang. 

"We should back to the hotel now. I drop you then i go back to my home." 

Jade seikit menolak dengan ekspresi wajahnya yang layu karena minuman. Rupanya ia masih ingin menikmati malam pertamanya di Labuan Bajo. Tapi saya memaksanya pulang. Bukan hanya cemas pada Jade, kecemasan terbesar ada pada Maria. 

Saya membopong Jade menuju parkiran. Di atas sepeda butut itu, ia berbaring lemas. Saya merasakan berat badannya yang hampir menekan punggung saya dengan pasrah. Tidak bisa berdaya, saya hanya menahan setir dengan sekuat tenaga sambil mengontrol tuas gas dengan sungguh. 

Di parkiran hotel, Jade sudah setengah kantuk. 

"Bring me to my bed!" Ia menyodorkan sebuab kunci dengan nomor 14 di gantungannya.

Saya menopangnya sekali lagi menuju kamarnya. Kami melangkah pelan, tidak ada lagi tamu-tamu berkeliaran di lorong yang hening itu. Rupanya semua sudah di kamarnya masing-masing. Saya membukakan pintu untuk Jade dan membaringkannya di atas tempat tidur. Tangannya terlentang kedua arah berbeda. Saya menyalakan lampu dan menghidupkan AC. 

Baru saja saya menarik selimut untuknya, dan hendak pamit pulang, tiba-tiba ia terbangun dan menarik lengan saya dengan wajahnya yang kian sayu. 

"Bring me to the shower."

Saya menopangnya lagi dengan sabar menuju toilet. Dalam posisi itu, Jade tidak terlalu suka pada cahaya. Ia meminta saya mematikan lampu di ruang tidurnya. 

"Let me in the dark. I got my world tonight. You are too kind guide i ever met around the world."

Saya menurutinya. Mematikan lampu dan membiarkannya gelap seperti permintaan gadis yang aneh itu.

"Bring me back to the bed." 

Saya membukakan kembali kamar mandi, ternyata ia baru saja selesai mandi untuk menghilangkan aroma minuman dan membiarkan tubuhnya kembali segar. Kemudian membaringkannya dan menarik selimut untuknya. Posisi tidurnya masih sama, ia melentangkan kedua lengannya di arah yang berbeda dengan sedikit mengangkat kaos oblon tipis sedikit lebih naik di sebelah atas pusarnya. Saya sedikit mabuk, tapi masih sadar posisi. Saya tahu, ruang kamar itu gelap. Saya menutupi tubuhnya dengan selimut. Saat-saat paling mencekam ketika mata saya tertuju pada kedua matanya. Bahkan sempat merasakan degup jantungnya yang berirama tak keruan. Rupanya ia masih mabuk, atau mungkin kebiasaan perempuan pekerja saat ingin tidur malam tidak mengenakan alas dada atau yang mereka sebut bra. Saya menahan diri. Pulang dalam diam. Beberapa jam setelahnya.

*Tirai ditutup, cerita pindah ke layar selanjutnya. Dan, saya pulang dalam keadaan yang seolah tidak terjadi apa-apa.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *