Berkaca dari Pilpres Filipina yang Mirip dengan Pilpres 2024 di Indonesia

 

Wakil Presiden terpilih Filipina Sara Duterte, kiri, putri presiden populis Filipina yang akan keluar, disambut oleh Presiden Filipina yang akan datang Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. kedua dari kiri, di Kota Davao, selatan Filipina Minggu 19 Juni 2022. (Foto: AP)

Itok Aman • Teman Ceritamu


Pada Tahun 2022 lalu, Ferdinand "Bongbong" Marcos memenangkan konstestasi politik di Filipina yang di mana ia berpasangan dengan calon wakil presidennya kala itu adalah Putri kandung dari Duterte, presiden yang menjabat sebelumnya.

Bongbong berhasil menduduki jabatan presiden setelah berjuang dan bersatu dengan klan-klan Duterte. Selain itu, kemenangan telak pun diraih Bongbong Marcos dan putri Duterte di basis tempat Duterte berasal yaitu Mindanao. 

Dilansir dari beberapa media lokal di Filipina dan media internasional seperti VOA, pasangannya sebagai wakil presiden, Sara Duterte, putri mantan presiden, membantunya mendapatkan dukungan penting dari pulau asal keluarganya, Mindanao.

Klan Marcos dan Duterte sebelumnya memang diperkirakan akan tersingkir pada akhirnya ketika mereka mulai memperkuat basis dukungan saingan mereka dan mengamankan posisi-posisi penting menjelang pemilu pada tahun 2025 dan pemilu presiden pada tahun 2028 mendatang. Namun hanya sedikit pengamat yang memperkirakan hal ini akan terjadi secepat atau sehebat itu.

Menghadapi unjuk rasa pendukung di kota kelahirannya Davao pada 28 Januari, Duterte menuduh Marcos sebagai "pecandu narkoba", sementara putra bungsunya Sebastian Duterte mengatakan Marcos harus mengundurkan diri. Dari sinilah awal mula perpecahan kubu Marcos dan Duterte terjadi.

Marcos membalas keesokan harinya, dengan mengklaim bahwa penggunaan opioid fentanil yang kuat dalam jangka panjang oleh Duterte telah berdampak buruk pada kesehatan Duterte.

Tak satu pun dari mereka memberikan bukti dugaan penggunaan narkoba oleh satu sama lain.

Tuduhan tersebut tampaknya dipicu oleh dukungan Marcos terhadap kampanye perubahan konstitusi negara – yang diperkenalkan setelah ayahnya digulingkan dari kekuasaan pada 1986 oleh pemberontakan yang didukung militer – yang ditentang oleh Duterte.

Marcos mengatakan ia terbuka untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi untuk memungkinkan lebih banyak investasi asing, tetapi para kritikus memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat membuka jalan baginya untuk memperpanjang masa kekuasaannya.

Para analis mengatakan Duterte juga khawatir putrinya akan dikesampingkan oleh pemerintah dan bahwa Marcos akan mengizinkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) masuk ke Filipina untuk menyelidiki perang narkoba yang dilakukannya, yang telah menewaskan ribuan orang.

Situasi meningkat ketika Duterte menyerukan Mindanao untuk memisahkan diri dari negara kepulauan lainnya, sehingga mendorong beberapa politisi lokal untuk memperingatkan bahwa ia berisiko dituduh melakukan penghasutan.

Sampai hari ini, isu politik di istana kepresidenan Filipina kian memanas. Beberapa pejabat penting dalam negara itu pun terlibat dalam situasi itu. Yang sedari awal Marcos dan Duterte bersatu memenangkan pemilu, akhirnya mengalami situasi perpecahan yang belum ada ujungnya.

Singkat cerita, dari kejadian di atas. Saya melihat ada kemiripan dengan situasi politik di Indonesia saat ini. Di mana, Prabowo yang dua kali kalah dalam kontestasi Pilpres oleh kubu Jokowi hingga akhirnya menang setelah dengan taktisnya menggaet putra sulung sang mantan presiden untuk menjadi wakil dari Prabowo hingga akhirnya pengikut fanatik dari keduanya yang sebelumnya saling mencaci kini sebagian besar bersatu untuk memenangkan paslon dengan nomor urut 02 itu. 

Akankah pada tahun-tahun masa jabatan Prabowo-Gibran mendatang, tidak ada perselisihan dari kedua kubu yang sementara ini berhasil bersatu? Apakah tidak ada ambisi untuk saling mengkudeta kekuasaan dari keduanya? 

Seperti yang terjadi di Filipina saat ini, keberadaan Sara Duterte sebagai wakil presiden mulai terancam akan tersingkir oleh klan Bongbong Marcos. Jika sang jenderal dan putra sulung mantan presiden RI itu terpilih, semoga saja tidak terjadi perpecahan seperti yang terjadi di Filipina akhir-akhir ini. Jika terjadi, saya akan kembali membagikan ulasan ini sebagai pengingat bahwa saya pernah menduga akan ada perpecahan dalam kubu Prabowo-Gibran oleh ambisi atas kekuasaan di negeri tercinta ini.

Daripada itu semua, kita tentu dengan penuh kesadaran tahu betul bahwa Filipina ya Filipina, Indonesia ya Indonesia. Jangan samakan keduanya. 

Toh, kalau mau flashback, mula-mulanya yang mengajukan nama Gibran ke MK adalah PDIP itu sendiri, yang mana ia akan menjadi Cawapres dan akan diduetkan dengan Ganjar. Jokowi sebagai petugas partai PDIP, yang kata Mega itu sendiri, menawarkan Prabowo berduet dengan Ganjar. Prabowo sebagai Capres dan Ganjar sebagai Cawapres.

Akan tetapi, melihat kenyataan PDIP sebagai partai terkuat selama dua periode terakhir, menang dua kali menguasai kabinet dan istana, juga punya posisi kuat di parlemen. Maka Mega merasa ogah atau ada seperti gengsi. Masa PDIP turun kelas jadi posisi sebagai wakil dan Gerindra yang kalah dua kali malah menduduki posisi utama sebagai Capres? Jelas Mega gengsi. 

Ganjar pun merespon tawaran Jokowi dengan bilang ia manut pada Ibu Ketua. Biarkan ketua yang partai yang mengatur, saya ikut-ikut saja. 

Melihat peluang dan elektabilitas Prabowo yang juga meningkat, Jokowi mulai mengatur strategi lain. Ia sepakat dengan Prabowo untuk berduet dengan Gibran. Lalu, muncullah berita yang mebgejutkan khalayak Indonesia, Kaesang menjadi ketua umum PSI menggantikan posisi Giring Ganesha. Tentu menambah satu partai yang berada di belakang Prabowo-Gibran. 

Entah seperti apa strategi awal catur politik di Filipina sehingga "Bongbong" Marcos berduet dengan Sara Duterte, hingga akhir-akhir ini kedua kubu yang memenangkan kontestasi Pilpres Filipina pada 2022 lalu mendadak pecah dan amburadul. 

Namun, di dalam kerakusan kekuasaan seperti yang terang-terangan lewat politik kita melihat tidak ada satupun yang abadi. Kawan bisa jadi lawan. Pun sebaliknya. Lihat saja, Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang sebelumnya begitu buruknya Jokowi di mata mereka namun setelah Prabowo-Gibran bersatu, mereka mulai memuji Jokowi. Atau Grace Natalie yang mengampanyekan partainya anti Prabowo kini malah memuja Prabowo. Dan juga Ahok yang dulunya berduet dengan Jokowi, kini berada di belakang barisan Ganjar-Mahfud. Di mana cebong-kampret sekarang?

Kawan saja bisa jadi lawan, apalagi janji politik, untuk semuanya ditepati ogah!

Salam!

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *