Plot Twist Drama Politik Jokowi Berujung Sembelih Sang Banteng

 

Ilustrasi yang saya com0t dari medsos


Itok Aman | Teman Ceritamu

Beberapa orang dekat Jokowi pernah bilang, tidak ada satu pun yang tahu betul apa isi hatinya Jokowi itu. Dia sulit ditebak. Pemikirannya sangat sulit ditebak. Kita bisa bayangkan, kawannya saja sulit menebak siapa Jokowi apalagi lawannya, bukan? Dan, mari kita mulai.

Sebelum mengakhiri masa jabatan dan meninggalkan istana, Jokowi menunjukkan taringnya. Kecerdasan dalam memainkan bidak-bidak catur politiknya, pergerakan-pergerakan taktis Jokowi nyaris tak terbaca. Dinamika politik Indonesia dalam satu dekade terakhir dan keberlanjutannya sungguh apik dimainkan si tukang kayu asal Solo itu.

Saatnya seorang Jokowi menumbangkan tanduk sang banteng. Partai yang mengantarnya menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Indonesia abad ini, bahkan diperhitungkan pemimpin-pemimpin dunia, sekaligus dalam situasi yang bersamaan partai yang meremehkan, merendahkan, menghinanya dalam akhir-akhir masa jabatannya sebagai RI 1. Sebelum mengakhiri masa jabatannya, Jokowi meninggalkan banyak hal yang darinya kita pelajari; jangan sesekali menyepelehkan pendiam yang terlihat lemah.

Kesalahan fatal bermula ketika menganggapnya tidak lebih dari sekadar boneka. Yang oleh Megawati sendiri menyebutnya petugas partai.

"Pak Jokowi tuh ya, kalo gak ada PDIP, duh kasian dah..." 

Tentu kalimat Megawati ini terngiang di ingatan para penggemar Jokowi. Megawati dan orang-orang di sekitarnya tidak pernah menyadari, ini adalah blunder besar yang menjadi cikal bakal Jokowi untuk menunjukkan siapa yang lebih menyedihkan di titik akhir permainan. Apakah memang yang menyedihkan itu adalah dirinya yang hanya seorang tukang kayu bukan pendiri atau Megawati pemilik partai beserta partainya yang menunggangi kepopularitasannya sejak menjabat walikota Solo dahulu. Semuanya berbalik arah. 

Dan, yang terjadi sekarang semua mata melihat PDIP malah menyedihkan. Mengingat dalam 10 tahun terakhir menjadi partai terkuat, menguasai kabinet dan istana. Dua kali Pilpres, dua kali winstreak.

Kesombongan, keangkuhan, dan lupa diri serta tidak menghargai Jokowi inilah cikal bakal keruntuhan kekuasaan PDIP. 

Manuver Jokowi membuat kita semua takjub. Bahkan saya sendiri, yang paling tak suka membicarakan politik, selalu menghindari diskusi-diskusi kecil di tongkrongan saat membahas hal-hal berbau politik. Namun, permainan luar biasa yang dihidangkan Jokowi inilah yang membuat kita semua takjub. Setuju atau tidak setuju. 

Saya tidak peduli pada Anies, Ganjar, atau Prabowo. Tetapi kecerdikannya menyembelih banteng merah hitam yang menancapkan tanduknya di area istana dan kabinet selama 10 tahun terakhir. Dialah pemerannya!

Dulu ia dihina haus kekuasaan, bahkan sampai dituding membangun dinasti kekuasaan. Come on! Sejak zaman Soekarno pun, kita sudah melihat adanya dinasti kekuasaan di negeri ini, atau bahkan di luar negeri seperti Amerika Serikat tak pernah terdengar dibicarakannya soal dinasti kekuasaan antara George Walker Bush dan ayahnya. Mengapa narasi dinasti kekuasaan ini muncul sampai pada sosok yang tak membangun partainya sendiri itu? 

Bukankah pemimpin harus demikian? Dia merangkap mental panglima perang. Apa yang sudah dibangun, lanjutkan! Jangan ada kata ragu, apalagi segan. Jangan berubah-ubah dan harus konsisten. Jika ada peluang menyelamatkan bangsa dari tangan-tangan orang yang tidak layak menurutnya, berani tumbangkan. Apapun caranya semua mesti dianggapnya halal. Selama menurutnya demi cita-cita kemajuan dan kebaikan bangsa, gaskan! 

Kali ini Jokowi juga memberikan pelajaran sekaligus peringatan pada PDIP, bahwa 2 periode mereka menguasai istana bukan hanya karena pengaruh partai namun ada Jokowi sebagai senjatanya di sana. Ketika ia diremehkan oleh partai, maka ia tunjukkan taringnya agar menjadi pembelajaran ke partai.

Selama memimpin, juga sebagai anggota partai dia manut dengan Mega dalam beberapa kesempatan mengambil kebijakan jika dilihatnya itu tidak begitu membahayakan negara. Namun, jangan disepelekan, dia punya pendiriannya sebagai kepala negara. Dan dia punya harga dirinya sebagai tukang kayu yang membuat papan catur. Dia tahu cara membuat dan memainkannya. Dia membalikkan keadaan.

Suka tidak suka, terima atau tidak. Pilpres periode ini sudah nampak pemenangnya bahkan beberapa bulan setelah penetapan pasangan calon yang maju bertarung. Tapi demokrasi tetap harus berjalan. 

Dari awal mula Kaesang tiba-tiba menjadi ketua umum PSI, Gibran menjadi calon wakil presiden berduet dengan Prabowo, Anies ikut Pilpres 2024 dan Cak Imin menjadi wakilnya. Mahfud MD yang tiba-tiba dipasangkan dengan Ganjar. Sampai pada Projo yang beralih mendukung Gerindra, pun pendukung PDI sendiri pindah haluan. Semua sudah diatur dalam bidak caturnya dengan rapi. Diam tapi mematikan!

Dari awal tidak ada niatan Prabowo menjadikan Anies sebagai cawapresnya, sejingga membuat Anies memutuskan keluar. Padahal di Jakarta suara Anies masih sangat kuat untuk memenangkan Prabowo jika keduanya berduet. Apakah Prabowo dengan begitu bodohnya melepaskan Anies? Tentu tidak. 

Sebagaimana PDIP terkuat selama 2 tahun terakhir, kalau diadu one by one dengan Gerindra, kemungkina gerindra hattrick kekalahannya. Sehingga Anies dibiarkan maju sebagai orang ketiga yang menjadi pemicuh pecahnya suara PDIP. Siapa yang mengusungnya? Ada Surya Paloh yang sedang dengan kepala panasnya dengan Jokowi selama setahun terakhir. Ingat kasus Jhonny Plate, Menkominfo itu? Dengan dendam inilah, Paloh juga ingin menunjukkan siapa Nasdem melalui Anies. Anies yang notabene memilik pengaruh besar untuk DPT DKI. Namun, tidak disadari bahwa elektabilitas Anies di kancah nasional adalah hasil curian dari elektabilitas Ganjar. Yang seharusnya PDIP bisa mencapai 50% namun tumbang sampai setengah dari itu. 

Entah ini masih menjadi bagian dari taktis Jokowi, namun kita bisa melihatnya sebagai plot twist dalam plot twist. Anies dijadikan alat untuk melemahkan elektabilitas PDIP, dan Cak Imin hadir untuk melemahkan elektabilitas Anies dengan segala keblunderannya. Bagaimana mungkin seorang ketum partai sekelas PKB, seorang Cak Imin bisa blunder bertubi-tubi dalam kampanye dan debat Cawapres kemarin. Besar kemungkinan Imin sebagai "impostor Anies".

Blunder Cak Imin ini di luar nalar, program yang ditawarkannya nyaris tidak masuk akal. Padahal dia senior dalam politik. Namun membandingkannya dengan Anies bagai langit dan bumi. Jauh dari panggang api. Apakah disengaja? Masih misteri.

Peran Surya Paloh pun tidak kalah membagongkan. Yang awalnya dia memposisikan Anies dan AHY malah tiba-tiba dengan Cak Imin. Beberapa pengamat politik pun kaget mendengar keputusan Paloh ini. Demokrat pun merasa seperti dikhianati hingga akhirnya berbelok mendukung Prabowo dan kekuatan nasdem pun turun tentunya. Untuk Demokrat mendukung Ganjar tidak mungkin, sebab relasi SBY dan Mega sejak lama tidak baik-baik saja.

Apakah Paloh tidak sadar atau sengaja abai bahwa di belakang AHY ada SBY yang posisinya masih sabgat kuat dan patut diperhitungkan hingga kini? Ini pun terkesan aneh dan masih seperti misteri.

Lalu sosok Ahok tiba-tiba juga muncul di bagian-bagian final. Seolah-olah masuk ke kubuh Ganjar-Mahfud untuk memperjelas, jika terjadi dua putaran maka tidak akan ada koalisi antara 01 dan 03. Sebab semesta mengetahui, bagaimana relasi Ahok dan Anis sejak bertarung di Pilkada Jakarta lalu. Ia masuk mengobrak-abrik kubuh Ganjar. Ini masih bagian dari permainan Jokowi? Bisa jadi, sebab Ahok dan Jokowi muncul ke publik sejak 2012 silam. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana dengan narasi yang fibangun Ahok tentang Jokowi dan Gibran, yo namanya politik. Intinya tujuan jelas, obrak-abrik saja di dalamnya sampai mempersiapkan Ahok untuk meruntuhkan plan B yang mana PDIP berkoalisi dengan Nasdem.

Dan, yang bikin tidak habis pikir malah Mahfud. Dalam situasi genting menjelang hati H malah blunder. Seperti yabg diketahui, sebelum jelang debat Cawapres, elektabilitas Prabowo hanya 48%, namun setelah Mahfud blunder malah elektablitas Prabowo-Gibran meningkat menjadi 52,3%. Jangan-jangan Mahfud pionnya Jokowi juga? Masih misteri pula. 

Walaupun Mega dalam orasinya meyakini PDIP menang satu putaran, namun masih mempunyai plan B jika terjadi dua putaran. Jika dua putaran terjadi, kemungkjnan besar PDIP akan berkoalisi dengan Nasdem. Namun, kekalahan PDIP sebetulnya bukan pada 14 Februari 2024, akan tetapi kekalahan PDIP yang harusnya sudah mereka terima ialah sejak mereka menghina dan merendahkan Jokowi. 

Sejak awal Prabowo-Gibram sudah diprediksi menang, bahkan satu putaran. Dilihat dari analisis apapun itu sulit dibantah. Kampanye mereka asyik, dukungan uang pun tak terbatas, logistik yang kuat dan tertatah rapi. Dukungan dari kalangan artis dan influencer (terlepas mereka dibayar atau tidak). Soundtrack dan lagu kampanye yang kekinian selalu terngiang, warna biru muda sebagai seragam pun terkesan kekinian dan juga asyik.

Kemunculan Mayor Teddy dan kucing milik Prabowo adalah warna lain sebagai penambah daya tarik pemilih. Pendukung masa lalu Prabowo yang menjadi beban pun sudah menghilang dan pergi. 

Salah satu program mereka yang selalu dibicarakan adalah soal makan siang gratis, ini lebih gampang diingat masyarakat kalangan bawah daripada program kedua paslon lainnya. 

Dan Jokowi Effect itu benar terbukti ampuh, baik ke Prabowo maupun imbasnya ke PDIP. Tentu kita mengakui PDIP itu partai terkuat, mesin-mesin partainya juga tidak kalah kuat, dan dalam kontes politik kali ini mereka masih menjadi hitungan besar walaupun suaranya drop daripada dua Pemilu sebelumnya. 

Apakah PDIP benar-benar drop? Apakah banteng benar-benar mati kutu? Tidak juga. PDIP masih menjadi partai kuat hingga hari ini terlepas dari kekalahan Ganjar-Mahfud. Peluang terbesar untuk PDIP dan koalisinya adalah menguasai ruang parlemen agar ada kekuatan oposisi. Sehingga eksekutif dan legislatif bekerja seimbang dalam mengambil kebijakan sebab ada kontrol parlemen ke istana. Itupun kalau 01-03 menguasai parlemen dan mereka mau beroposisi.

Yang terakhir, sebagai pengingat untuk kita semua apalagi yang masih sangat awam dengan politik; jangan terlalu fanatik pada seseorang, dan jangan terlalu membenci pada seseorang apalagi tokoh politik. Sebab, dalam politik tidak ada yang abadi. Kali ini mereka adalah lawan, besok atau lusa mereka bisa saja menjadi kawan sesuai kepentingan kekuasaannya masing-masing? Bagaimana dengan kita? Tetaplah menjadi bijak untuk lebih mawas diri dan tidak berlebihan.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *